Infomalangraya.com – Di jantung Kalimantan Timur, puluhan insinyur Pertamina Hulu Mahakam (PHM) menatap layar monitor yang menampilkan kurva produksi gas dari Lapangan Senipah Peciko. Bukan lapangan baru dengan semburan raksasa, melainkan wilayah mature yang usianya sudah puluhan tahun.
Tantangannya bukan sekadar mengebor, tapi bagaimana memeras setetes terakhir energi dari “sumur tua” ini, menjaga aliran pasokan untuk industri dan rumah tangga nasional tetap stabil. Di tengah gaung global tentang transisi energi bersih, industri hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia berdiri sebagai benteng pragmatis, tulang punggung yang menopang transisi itu sendiri.
Seolah berlomba dengan waktu, para regulator di Jakarta, dari Kementerian ESDM hingga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), terus mendorong percepatan. Mereka sadar kedaulatan energi hari ini masih bergantung pada minyak dan gas, meskipun pandangan mata diarahkan ke masa depan yang hijau.
”Kedaulatan energi adalah salah satu cita-cita utama Presiden. Kami akan turun langsung mempercepat perizinan agar produksi bisa segera berjalan,” janji Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dibeberapa momen menunjukkan betapa strategisnya percepatan di sektor ini.
Kisah PHM di Lapangan Mahakam adalah representasi dari perjuangan hulu migas nasional. Menurut Chalid Said Salim, Direktur Utama PHI, inovasi adalah kunci. Perusahaan harus menerapkan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) yang mahal dan kompleks, serta strategi pengeboran yang lebih cerdas untuk mempertahankan angka produksi.
Hingga Maret 2025, PHM membuktikan kerja keras itu—mencatat produksi gas 439 MMSCFD, memberikan sinyal positif di tengah tantangan sumur yang semakin tua.
General Manager PHM, Setyo Sapto Edi, menambahkan nuansa kemanusiaan di balik angka-angka. “Lapangan Senipah Peciko South adalah contoh bagaimana lapangan mature bisa tetap produktif tanpa mengorbankan lingkungan dan mengedepankan prinsip keselamatan. Ini bukan sekadar produksi, ini tentang keberlanjutan.”
Semangat dari lapangan ini menjadi energi pendorong bagi target ambisius yang dicanangkan SKK Migas, lifting migas 2025 sebesar 1,61 juta BOEPD. Kepala SKK Migas Djoko Siswanto tak menampik bahwa target ini membutuhkan upaya ekstra dan sinergi tak terelakkan.
“Kami kumpulkan KKKS untuk mempercepat kegiatan eksplorasi dan produksi. Tanpa percepatan, target nasional akan sulit tercapai,” tegas Djoko dalam arahannya, menggambarkan suasana rapat yang penuh tekanan demi mengejar ketertinggalan.
Langkah strategis tak hanya di level operasional (pengeboran sumur baru dan EOR), tetapi juga di level kebijakan. Pemerintah berupaya memangkas birokrasi, menarik investasi, sekaligus memastikan eksplorasi cadangan baru terus berjalan.
Kerja keras ini tidak hanya berujung pada stabilitas pasokan energi, tetapi juga menjadi penjamin kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara gamblang mengakui bahwa kinerja lifting migas adalah penentu kekuatan fiskal.
”Realisasi lifting migas yang rendah akan mempengaruhi kinerja penerimaan negara, baik dari pajak maupun PNBP. Efisiensi pengelolaan hulu migas harus dijaga agar APBN tetap resilien,” ujarnya, menempatkan sektor ini sebagai penyeimbang ekonomi makro.
Sejauh ini, hasilnya menggembirakan, hingga Juni 2025, produksi minyak mencapai 602,4 ribu barel per hari, dan produksi gas bumi bahkan melampaui 119% dari target semester pertama. Yang tak kalah penting, gas bumi kini semakin banyak dialirkan ke dalam negeri—69 persen dialokasikan untuk kebutuhan domestik, menjamin pasokan untuk pabrik pupuk, listrik, dan industri vital lainnya.
Di tengah desakan global untuk segera meninggalkan bahan bakar fosil, Indonesia mengambil jalan yang realistis. Industri hulu migas ditempatkan sebagai “pilar” yang menopang jembatan menuju energi bersih.
Mantan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pernah menegaskan visi jangka panjangnya, yang kini menjadi mandat kolektif. “Cadangan baru harus terus ditemukan untuk mendukung produksi dan mencapai target jangka panjang: satu juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas.”
Dengan komitmen percepatan izin, optimalisasi lapangan tua, dan dorongan investasi berkelanjutan, industri hulu migas menegaskan posisinya. Ia bukan lagi sekadar mesin ekonomi, melainkan benteng ketahanan energi nasional yang memastikan lampu tetap menyala dan roda industri terus berputar, selagi negara bersiap menyambut masa depan energi yang lebih hijau.***