Malang (IMR) – Langkah inovatif dilakukan tim peneliti Universitas Islam Malang (Unisma) dengan menggagas integrasi ekoliterasi melalui bacaan sastra anak di sekolah. Program ini dikemas dalam riset bertajuk ‘Aktualisasi Ekoliterasi di Sekolah: Kelayakan Desain Self-Curation Bacaan Sastra Berwawasan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan’. Sebagai bagian dari riset tersebut, digelar diskusi kelompok terpumpun pada Rabu (6/8/2025).
Kegiatan berlangsung secara hibrid, yakni luring di Laboratorium Jurnalistik FKIP Unisma dan daring melalui Zoom. Diskusi ini menghadirkan pakar cerita anak, dosen lintas fakultas, guru sekolah dasar, hingga orang tua, untuk mengeksplorasi pendekatan literasi yang bisa membentuk kesadaran lingkungan sejak dini.
Ketua tim peneliti, Dr. Ari Ambarwati, menyatakan bahwa kegiatan ini menjadi forum evaluatif pemanfaatan bahan bacaan yang memiliki wawasan ekologi.
“Harapannya, diskusi ini menjadi forum evaluasi terhadap pemanfaatan bahan bacaan yang berwawasan lingkungan. Sejauh mana siswa mampu mempraktikkan nilai-nilai dari bacaan tersebut,” ujarnya kepada beritajatim.com, Kamis (7/8/2025).
Diskusi diawali dengan pembahasan dokumen kurikulum dan kebijakan pendidikan terkait ekoliterasi yang dipandu oleh Dr. Sri Wahyuni, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unisma. Ia menekankan perlunya pendekatan deep learning untuk mengatasi persoalan lingkungan secara nyata.
“Konsep ekoliterasi sangat relevan karena berakar pada penyelesaian masalah nyata, seperti isu-isu lingkungan hidup yang dihadapi saat ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Hamdani Dwi Prasetyo, M.Si., dosen Ekologi FMIPA Unisma, menekankan bahwa pemahaman ekologi bisa disampaikan secara sederhana dan kontekstual.
“Ekoliterasi bisa menjadi jembatan bagi siswa untuk memahami hubungan manusia dengan alam, membangun empati terhadap lingkungan, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab lintas generasi,” papar Hamdani.

Penulis cerita anak Ary Nilandari memaparkan strategi self-curation atau pemilihan bacaan yang sesuai konteks. Menurutnya, tantangan bukan lagi pada ketersediaan bahan bacaan, tetapi pada bagaimana anak meresponsnya.
“Gerakan Literasi Nasional (GLN) sejak 2017 sudah menyediakan buku sesuai jenjang. Sekarang yang dibutuhkan adalah penguatan ekosistem membaca dan perhatian pada respons siswa,” ujarnya.
Kritik disampaikan Jumina, guru SDN 2 Pandanlandung, yang menyoroti minimnya sosialisasi dari Kemendikbud terkait bahan bacaan ekoliterasi.
“Kami para guru saja banyak yang belum tahu buku-buku itu ada. Perlu adanya sosialisasi lebih luas,” katanya.
Elva, dosen Unisma sekaligus ibu rumah tangga, menyampaikan pengalamannya soal tantangan pola konsumsi anak yang dipengaruhi lingkungan sosial.
“Anak saya tidak makan bekalnya dan ingin jajan seperti temannya. Saya belajar bahwa lingkungan sosial punya pengaruh besar dalam membentuk kebiasaan anak, termasuk pola konsumsi yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Diskusi ini menjadi pondasi penting dalam menyusun strategi ekoliterasi yang aplikatif dan kontekstual di sekolah. Tim peneliti berencana menyusun rekomendasi konkret yang bisa diadopsi oleh instansi pendidikan.
“Tim peneliti berharap temuan dan rekomendasi ini bisa segera diimplementasikan. Kami ingin literasi hijau benar-benar tumbuh subur di setiap ruang kelas,” tutup Dr. Ari Ambarwati, yang baru saja merilis buku Melampaui Sastra Anak. (dan/ian)