Wakaf sebagai Sumber Daya Ekonomi Nasional yang Berkelanjutan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ingin mencapai 8 persen dalam beberapa tahun ke depan memerlukan strategi pembiayaan yang tidak hanya ekspansif, tetapi juga berkelanjutan, inklusif, dan memiliki legitimasi sosial yang kuat. Dalam situasi tekanan fiskal yang meningkat, utang publik yang membengkak, serta ketimpangan sosial yang semakin melebar, kebutuhan akan sumber daya ekonomi yang tahan krisis dan berbasis nilai menjadi semakin mendesak.
Dalam konteks ini, wakaf muncul sebagai instrumen keuangan sosial Islam yang tidak hanya menjadi alternatif, tetapi juga menjadi sumber daya ekonomi strategis yang mampu menopang agenda pembangunan nasional secara jangka panjang dan berkelanjutan. Wakaf memiliki karakteristik unik yang membuatnya istimewa dalam arsitektur keuangan berkelanjutan. Berbeda dari instrumen pembiayaan komersial yang berorientasi pada profit, wakaf bersifat nirlaba, di mana nilai pokok harta tidak berkurang, dan manfaatnya mengalir terus-menerus untuk kemaslahatan umum.
Karakteristik ini memberikan wakaf daya tahan antargenerasi, menjadikannya instrumen ideal untuk membiayai sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi, hingga pelestarian lingkungan. Dalam era pembangunan berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan keberlanjutan sosial dan ekologis, wakaf menawarkan kerangka pendanaan yang etis, stabil, dan berorientasi jangka panjang. Wakaf tidak hanya menyasar hasil ekonomi, tetapi juga memperkuat modal sosial dan spiritual masyarakat, dua aspek yang sering terabaikan dalam model pembangunan konvensional.
Potensi Wakaf Nasional
Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI) per 30 Juni 2025, total penghimpunan wakaf uang nasional mencapai Rp 3,031 triliun. Pencapaian ini meningkat 0,8% dibandingkan akhir tahun sebelumnya, meskipun masih menghadapi tantangan berupa penurunan wakaf uang yang dikelola oleh Lembaga Kenaziran BWI. Pada semester pertama 2025, kontribusi Lembaga Kenaziran BWI terhadap total penghimpunan wakaf uang nasional hanya sebesar Rp 588,02 miliar atau sekitar 19,4% dari total. Penurunan ini dipengaruhi oleh jatuh temponya sejumlah Sukuk Wakaf sebesar Rp 300 miliar.
Meski begitu, realisasi wakaf uang menunjukkan arah positif. Ini menunjukkan pertumbuhan kesadaran masyarakat dan semakin meluasnya ekosistem wakaf uang. Namun, jika dibandingkan dengan potensi wakaf nasional yang ditaksir mencapai Rp 180 triliun per tahun, angka aktual ini masih sangat jauh dari optimal. Potensi tersebut sebenarnya bisa diwujudkan dengan melibatkan lebih banyak aktor, seperti ASN, BUMN, kalangan diaspora, dana CSR, dan dana abadi pendidikan serta pesantren.
Saat ini, terdapat 505 lembaga nazhir wakaf uang yang aktif dan 5.273 nazhir tersertifikasi SKKNI Wakaf, yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, kapasitas mereka perlu ditingkatkan agar mampu mengelola skema wakaf yang lebih produktif dan terhubung langsung dengan agenda pembangunan nasional. Di sisi kelembagaan, Badan Wakaf Indonesia telah memiliki 494 perwakilan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Meskipun infrastruktur dasar kelembagaan mulai terbentuk, efektivitasnya sangat bergantung pada peningkatan kapasitas SDM, digitalisasi sistem, dan integrasi data wakaf secara nasional.
Langkah Strategis untuk Meningkatkan Wakaf
Langkah-langkah untuk menjadikan wakaf sebagai sumber daya ekonomi nasional sudah mulai diadopsi melalui kebijakan strategis. Peta Jalan Wakaf Nasional 2024–2025 yang disusun BWI menetapkan enam prioritas utama, yaitu peningkatan literasi wakaf, reformasi regulasi, penguatan kapasitas dan tata kelola nazhir, inovasi produk wakaf, digitalisasi sistem, serta konvergensi wakaf dengan agenda pembangunan global seperti SDGs dan transisi energi hijau.
Hingga pertengahan 2025, telah disusun 31 regulasi yang mendukung ekosistem wakaf nasional. Lebih lanjut, visi negara tertuang dalam Asta Cita Presiden RI 2024–2029 yang secara eksplisit mendorong penguatan dana sosial Islam sebagai bagian dari ekosistem keuangan nasional. Rencana pendirian Bank Wakaf menjadi bukti bahwa negara mulai melihat wakaf sebagai sumber daya fiskal alternatif yang bisa menopang pembangunan nasional dengan cara yang berbasis nilai dan berorientasi jangka panjang.
Namun, tantangan struktural masih menjadi hambatan signifikan. Dari total 447.532 lokasi tanah wakaf yang tercatat, baru sekitar 53 persen yang telah bersertifikat, dan hanya sekitar 4 persen yang produktif secara ekonomi. Ini mencerminkan ketimpangan besar antara potensi aset wakaf dan realisasi manfaat ekonominya. Selain itu, penyelesaian sengketa wakaf juga masih terbatas, dengan hanya 17 kasus yang terselesaikan hingga pertengahan 2025.
Rendahnya literasi masyarakat tentang wakaf—yang masih identik dengan pembangunan masjid atau pemakaman—menjadi salah satu penyebab kurangnya partisipasi dalam wakaf produktif. Maka, diperlukan strategi komunikasi publik dan edukasi yang lebih masif dan kontekstual agar wakaf dipahami sebagai instrumen strategis untuk pembangunan ekonomi.
Praktik Baik dan Digitalisasi Wakaf
Berbagai contoh praktik baik menunjukkan bahwa wakaf produktif memiliki daya ungkit ekonomi yang signifikan. Penerbitan Sukuk Wakaf oleh pemerintah yang digunakan untuk proyek kesehatan dan pendidikan menjadi bukti bahwa instrumen keuangan negara dapat bersinergi dengan keuangan sosial Islam. Demikian pula pengelolaan wakaf oleh lembaga seperti Dompet Dhuafa dan Wakaf Salman ITB yang berhasil membangun rumah sakit, sekolah, hingga inkubator bisnis dari dana wakaf uang. Praktik-praktik ini membuktikan bahwa dengan tata kelola yang baik, wakaf dapat menciptakan ekosistem pemberdayaan yang inklusif dan berkelanjutan.
Lebih jauh, model seperti ini juga menciptakan ruang partisipasi publik yang lebih luas, di mana masyarakat dapat berkontribusi langsung pada pembangunan tanpa harus menunggu intervensi negara. Saat ini, BWI bersama Kementerian Agama juga telah menginisiasi Gerakan ASN Berwakaf, dan program penghimpunan wakaf uang dari guru pendidikan agama Islam di lebih dari 316.000 sekolah se-Indonesia, termasuk di luar negeri.
Digitalisasi menjadi kunci untuk membuka potensi besar wakaf ke depan. Dengan integrasi data antara lembaga nazhir, sistem informasi agraria, Kementerian Agama, perbankan syariah, dan platform crowdfunding, Indonesia dapat membangun ekosistem wakaf digital nasional yang transparan, efisien, dan akuntabel. Pendekatan ini juga memungkinkan wakaf berskala mikro berkembang, di mana masyarakat bisa mulai berwakaf dengan nominal kecil namun terorganisir secara kolektif. Digitalisasi akan memperluas basis partisipasi dan sekaligus memperkuat transparansi serta pelaporan publik, dua faktor kunci untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga wakaf.
Peran Wakaf dalam Pembangunan Nasional
Menjelang satu abad kemerdekaan Indonesia pada 2045, diperlukan lompatan paradigma dalam pembiayaan pembangunan. Ketergantungan pada sumber daya eksternal, termasuk utang luar negeri dan eksploitasi sumber daya alam, sudah saatnya dikurangi secara bertahap. Indonesia membutuhkan sumber daya ekonomi yang berasal dari dalam, mengakar pada nilai-nilai luhur bangsa, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Wakaf menawarkan semua itu. Ia bukan hanya mekanisme distribusi kekayaan, tetapi juga instrumen transformasi sosial yang memperkuat ketahanan komunitas dan memperluas akses terhadap pelayanan dasar. Dalam kerangka pembangunan nasional, wakaf adalah jembatan antara idealisme nilai dan realitas kebutuhan. Ia bukan sekadar pelengkap sistem fiskal, melainkan penopang utama pembangunan berkelanjutan yang adil dan berdaya tahan tinggi. Dengan strategi nasional yang berpihak, tata kelola yang kuat, dan partisipasi publik yang luas, wakaf dapat menjadi sumber daya ekonomi unggulan Indonesia di abad ke-21.