Wali Kota Solo Izinkan Ayam Goreng Widuran Kembali Buka, Harus Ditulis Non-Halal Jelas

InfoMalangRaya.com—Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka—yang kini telah digantikan oleh Respati Ardi—secara resmi memperbolehkan Rumah Makan Ayam Goreng Widuran untuk kembali beroperasi setelah sempat ditutup sementara akibat kontroversi penggunaan minyak babi dalam salah satu produknya.

“Ya, kami persilakan. Silakan, jika mau buka kembali,” jelas Wali Kota Solo kepada wartawan di Loji Gandrung, Solo, Rabu (4/6/2025) petang.

Namun, izin operasional kembali itu diberikan dengan satu syarat penting: pemilik harus mencantumkan informasi bahwa makanan yang dijual tidak halal, dengan tulisan yang jelas dan besar di area usaha.

Respati menjelaskan bahwa hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Laboratorium Balai Veteriner Boyolali menunjukkan makanan yang dijual warung tersebut layak konsumsi dari sisi keamanan pangan. Namun, aspek kehalalan tidak termasuk dalam cakupan uji laboratorium tersebut.

“Hasilnya makanan mereka layak konsumsi. Tapi kalau soal halal atau tidak, itu wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), bukan dari uji lab Pemkot,” tegas Respati.

Ia menambahkan, dalam proses asesmen yang dilakukan Pemkot Solo, pihak Ayam Goreng Widuran telah menyatakan secara terbuka bahwa sebagian bahan makanan mereka mengandung unsur nonhalal.

Karena itu, kata Respati, sesuai perlindungan konsumen, warung tersebut harus transparan terhadap publik dan bertanggung jawab menyampaikan informasi dengan jujur.

“Pelaku usaha sudah mendeklarasikan ada unsur nonhalal, ya sudah. Yang penting sekarang mereka wajib menulis keterangan tersebut dengan huruf besar dan mencolok, dan juga melatih karyawan agar bisa menyampaikan informasi itu secara lisan kepada pembeli,” lanjutnya.

Warung Ayam Goreng Widuran merupakan rumah makan legendaris di Kota Solo yang berdiri sejak tahun 1970-an. Polemik muncul saat publik mengetahui bahwa salah satu menu favoritnya, terutama bagian kremesan, dimasak menggunakan minyak babi, tanpa pemberitahuan yang jelas kepada konsumen, yang mayoritas Muslim.

Hal ini memicu kemarahan dan kekecewaan pelanggan lama yang merasa tertipu, terutama karena selama puluhan tahun tidak ada penjelasan bahwa makanan tersebut tidak halal.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo mengeluarkan pernyataan resmi. Ketua MUI Solo, Abdul Aziz Ahmad, memastikan bahwa Rumah Makan Ayam Goreng Widuran belum pernah mengajukan proses sertifikasi halal secara resmi.

“Setelah kami lakukan pengecekan dan investigasi internal, tidak ditemukan pengajuan apapun dari Ayam Goreng Widuran. Mereka juga tidak pernah berkoordinasi dengan kami. Tulisan ‘halal’ yang sempat terpasang di spanduk mereka itu klaim sepihak tanpa izin,” ujar Abdul Aziz.

Identitas sebagai tempat makan non-halal yang harus jelas terlihat, baik secara visual maupun informasi langsung kepada pelanggan.

Ia menambahkan bahwa setiap pelaku usaha makanan yang ingin mencantumkan label halal wajib melalui proses sertifikasi yang ketat dan diverifikasi oleh lembaga resmi.

Pencantuman sepihak tanpa proses verifikasi adalah bentuk pelanggaran etik terhadap hak konsumen.

Terkait dengan sertifikasi halal, Respati mendorong agar pemilik Ayam Goreng Widuran mengurusnya secara resmi jika memang ingin melabeli produknya halal. Namun, jika memang menggunakan bahan nonhalal dan tidak berniat mengubah resep, mereka tetap boleh berjualan asal jujur dan transparan.

Penutupan sementara warung beberapa waktu lalu dilakukan, menurut Respati, bukan karena pelanggaran administratif, melainkan untuk menjaga kondusivitas masyarakat Solo di tengah polemik yang cukup luas di media sosial dan publik.

Saat ini, tidak ada sanksi administratif yang dikenakan pada pemilik warung.

“Kami hanya ingin Solo tetap aman dan tenang. Yang penting sekarang adalah keterbukaan informasi kepada konsumen,” tegas Respati.

Dengan demikian, Rumah Makan Ayam Goreng Widuran resmi kembali beroperasi, namun dengan.* jp, tp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *