- Beverly Ochieng
- BBC Monitoring, Nairobi
Sumber gambar, Reuters
Serangan senjata mesin, serangan pesawat, konflik di Sudan… dalam 67 detik
Pertempuran sengit dengan senjata api antara paramiliter dan militer telah terjadi di seluruh Sudan.
Kekerasan antara militer dan kelompok paramiliter yang disebut Pasukan Pendukung Cepat (RSF) terus berlangsung, sejak pertama kali meletus Sabtu, (15/04).
Sampai Senin (17/04), organisasi dokter di Sudan melaporkan setidaknya hampir 100 orang meninggal dan sebuah laporan mengestimasikan jumlah orang yang terluka mencapai 1.100 jiwa.
Kedua pihak saling mengeklaim menguasai situs-situs penting di Ibu Kota Khartoum.
Namun, pertempuran yang meletus di ibu kota Sudan, Khartoum, dan beberapa tempat di negara itu merupakan hasil dari perebutan kekuasaan yang ganas di bawah kepemimpinan militer.
Terjadi baku serang di tempat-tempat strategis utama di ibu kota saat pasukan paramiliter yang disebut Pasukan Pendukung Cepat (RSF) bertempur dengan dengan pasukan militer negara.
Berikut hal-hal yang perlu Anda ketahui tentang konflik di Sudan.
Sumber gambar, AFP
Saat Omar al-Bashir digulingkan dalam kudeta 2019, para pengunjuk terus menyuarakan peralihan kepada pemerintahan sipil.
Apa latar belakang dari pertempuran ini?
Sejak kudeta yang terjadi pada Oktober 2021, pemerintahan Sudan dijalankan oleh dewan jenderal dan terdapat dua tokoh militer yang menjadi pusat perselisihan.
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan yang menjadi kepala angkatan bersenjata (militer negara), dan presiden hasil kudeta negara itu.
Lalu, wakilnya sekaligus pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang dikenal dengan Hemedti.
Mereka tidak setuju dengan arah pemerintahan negara yang akan menuju pemerintahan sipil.
Salah satu poin utama yang mencuat adalah mengenai rencana melebur 100.000 pasukan RSF ke tubuh militer, kemudian siapa yang nantinya akan memimpin pasukan baru tersebut.
Sumber gambar, Getty Images
Kenapa semua ini terjadi pada Sabtu kemarin?
Pertempuran itu terjadi setelah melewati hari-hari yang menegangkan, terutama saat anggota RSF kembali ditempatkan di seluruh negara, yang kemudian ditangkap karena dianggap ancaman oleh militer.
Ada harapan akan terjadi perundingan untuk memecahkan kebuntuan situasi, tapi hal itu tak pernah terjadi.
Masih belum jelas siapa yang melepaskan tembakan pertama kali pada Sabtu pagi kemarin, tapi siapapun yang memulai, baku tambak ini telah memperburuk situasi yang sudah tidak kondusif.
Para diplomat telah mendesak kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata.
Siapakah Pasukan Pendukung Cepat alias RSF?
Pasukan paramiliter RSF dibentuk pada 2013, yang berawal dari milisi Janjaweed. Pasukan ini terkenal kejam saat menghadapi kelompok pemberontak di Darfur.
Sejak itu, Jenderal Dagalo membangun pasukan yang kuat. Pasukan ini juga terlibat dalam konflik di Yaman dan Libia, termasuk mengendalikan sejumlah pertambangan emas di Sudan.
Sumber gambar, Reuters
Rivalitas antara Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (foto di atas) dan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan merupakan akar konflik.
RSF juga diduga melakukan pelanggaran HAM, termasuk pembantaian lebih dari 120 pengunjuk rasa pada Juni 2019.
Pasukan yang begitu kuat di luar instansi militer ini dilihat sebagai sumber ketidakstabilan negara.
Mengapa militer yang bertanggung jawab?
Pertempuran ini merupakan episode terbaru dalam krisis politik Sudan menyusul penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada 2019 – yang telah lama berkuasa.
Saat itu terjadi unjuk rasa besar-besaran di jalanan. Mereka menuntut Omar al-Bashir berhenti memerintah setelah hampir tiga dekade berkuasa. Militer dalam hal ini ikut melakukan kudeta.
Namun, warga sipil terus menuntut partisipasi dalam rencana menuju pemerintahan yang demokratis.
Pemerintahan bersama militer-sipil kemudian dibentuk, tapi digulingkan lagi dalam kudeta lainnya pada Oktober 2021.
Dan sejak itu, persaingan antara Jenderal Burhan dan Jenderal Dagalo semakin menjadi-jadi.
Kesepakatan kerangka kerja untuk mengembalikan kekuatan ke tangan sipil telah disepakati Desember lalu, tapi pembicaraan mengenai rinciannya telah gagal.
Apa yang terjadi sekarang?
Jika pertempuran berlanjut, ini bisa memecah belah negara dan memperburuk pergolakan politik.
Kalangan diplomat, yang memainkan peran penting dalam upaya mendesak kembalinya pemerintahan sipil, akan putus asa mencari cara agar kedua jenderal itu mau saling bicara.
Sementara itu, warga sipil di Sudan yang akan menanggung periode ketidakpastian lainnya.