Pada sekitar tahun 2002 – 2010 penulis seringkali menjadi ribet ketika mendengar isu apapun yang berkaitan dengan dirinya. Baik itu isu yang merugikan seperti isu islamisasi kesenian, mendekati kampus agar lebih mudah mencari massa, bermain mata dengan politisi hingga hal-hal yang bersifat pribadi, muncul juga isu yang membuat penulis menjadi tersenyum senang.
Sekian tahun perjalanan dalam dialektika pergerakan kebudayaan begitu banyak bermacam isu berseliweran, sampe suatu saat penulis merasa jenuh dengan semua itu dan pada awal tahun 2011, penulis memutuskan untuk menghilang dari hiruk-pikuk pergerakan kebudayaan, lalu belajar menikmati sepi dan juga sunyi.
Alas Purwo adalah tempat awal penulis belajar menikmati kedua rasa tersebut, pada awal didalam proses belajar, penulis merasa sangat galau, gelisah dan terkadang seperti orang linglung. Dikarenakan sekian tahun perjalanan pergerakan, hampir tiap hari berinteraksi dengan banyak orang dan banyak forum diskusi. Dan tiba-tiba penulis harus sendirian total tak bertemu dengan teman, apalagi forum diskusi.
Hampir setahun kegelisahan dan kegalauan itu mendampingi hari-hari, hingga akhirnya penulis bertemu dengan sesepuh kejawen di Desa Cluring dan beliau adalah orang yang pertama kali mengajak untuk masuk dan menikmati suasana sepi di dalam Goa Kahyangan – Alas Purwo, Mbah Ugik nama beliau.
Perkenalan penulis dengan beberapa orang yang masih muda dan telah lama tinggal di lingkungan Goa Kahyangan membuat penulis kerasan dan mulai bisa belajar menikmati sepi dan sunyi. Penulis menemukan satu komunitas baru, yaitu komunitas kaum pertapan yang mereka berlatar belakang dari berbagai ajaran, tapi uniknya mereka bisa bercengkerama dengan baik satu sama lain. Dalam kesehariannya orang-orang itu lebih sering mendiskusikan pengalaman prosesnya di beberapa tempat yang pernah mereka datangi, dan tiap individu pengalamannya selalu berbeda-beda meskipun berada di lokasi yang sama.
Pengalaman tentang pertemuan mereka dengan sosok ghaib maupun dengan hewan-hewan liar yang ada di dalam hutan atau di suatu tempat yang lain.
Menikmati proses di dalam hutan memang tak semudah yang di bayangkan oleh orang-orang pada umumnya, godaan didalam hutan lebih variatif, ada berbagai macam bentuk godaan. Seperti adanya macam-macam makhluk ghaib, godaan akan keberadaan hewan liar yang buas atau hewan-hewan kecil tapi yang membuat seseorang bisa terluka dan bahkan sampai pada kematian dan lain sebagainya.
Ada banyak godaan yang akan menghancurkan konsentrasi pikiran ketika proses bersemedi, karena pikiran terus selalu was-was akan kemunculan beberapa godaan tersebut, sementara pada satu sisi yang lain, dalam semedi di tuntut pikiran harus kosong melihat satu titik tujuan, agar bisa mendapatkan sesuatu dibalik apa yang tak terlihat oleh kasat mata.
Hampir setahun setengah penulis bolak-balik dari rumah ke Alas Purwo untuk belajar menikmati rasa sepi dan sunyi tersebut. Ternyata sangat tidak mudah untuk bisa menikmati kedua rasa tersebut. Sangat di butuhkan perjuangan dan keberanian yang ekstra untuk akhirnya bisa menikmati semua itu.
Sampai saat ini, penulis merasa belum mampu benar-benar bisa menikmati rasa sepi dan sunyi. Karena terkadang masih tergoda oleh ego dengan citra hitamnya, yaitu pingin diakui keberadaannya oleh orang lain, pingin pengakuan atau dihargai lebih oleh orang lain.
Akan tetapi pada satu sisi yang lain, penulis mulai bisa mengabaikan rasa apapun yang di tumbuhkan dari isu-isu tentang dirinya.
Satu hal penting yang penulis dapatkan dari proses belajar menikmati sepi dan sunyi tersebut adalah, penulis tidak lagi mudah kemrungsung, tidak lagi mudah kagetan, tidak lagi kemaruk akan sesuatu, tidak lagi gampang gumunan, apalagi sampai terjebak pada sebuah euforia. Menurut penulis, bisa menikmati rasa sepi dan sunyi sangatlah di butuhkan oleh tiap individu yang terbiasa aktif dalam ranah pergerakan apapun, agar sedikit banyak mampu mengontrol situasi dan kondisi dalam dialektika kesehariannya atau minimal, setidaknya jauh lebih bisa tenang atau lebih mudah menenangkan diri didalam kegaduhan interaksi sosial.
Di era digital dengan media sosial yang semakin maya, keadaan menjadi lebih mudah rancu, komunikasi sosial tanpa interaksi fisik dan jiwa telah menguasai arena kehidupan, sehingga kehidupan semakin terasa abu-abu atau semu. Inilah sebenarnya kehidupan riil yang ghoib itu, bukan seprti yang terjadi di Alas Purwo. Jika di Alas Purwo memang riil makhluk ghoib, tapi didunia modern justru berwujud manusia tapi interaksinya ghoib. Dan umumnya mereka tidak pernah menjadi dirinya sendiri.
Dunia telah dilipat oleh teknologi, lalu ditampilkan ulang dalam bentuk maya (Ghoib). Kehidupan nyata telah dipersiapkan secara ghoib oleh teknologi. Segalanya seolah telah menjadi lebih mudah, dalam mengakses apapun, akan tetapi keghoiban informasi dan data juga tak bisa dihindari, terutama oleh masyarakat awam. Teknologi telah sukses mempermainkan psikologi massa, karena kehidupan masyarakat seolah ditentukan olehnya. Maka dari sinilah embrio perpecahan mulai dibangun pondasinya oleh para bandit internasional dengan merancang perubahan sosial lewat medsos.
Ketenangan pikiran dan jiwa menjadi sangat penting di era ke mayaan atau keghoiban (teknologi) ini, agar pikiran tidak mudah terprovokasi oleh buzer pemvawa informasi dengan segala bentuknya, dan mereka adalah kaki tangan organisasi yang berusaha menguasai sebuah negara tanpa melalui peperangan fisik.
Ketenagan pikiran menjadi sangat oenting di era keghoiban ini, agar kita mampu merobohkan tembok hasrat liar, keterlenaan dan kesemuan yang menguasai alam bawah sadar yang menjadikan logika dan akal pikiran yang sehat seringkali tak berfungsi.
Nashir Ngeblues