Sumber gambar, Getty Images
Demonstrasi menentang kekerasan seksual terhadap perempuan
Aksi penelanjangan dan penceburan ke laut terhadap dua perempuan di sebuah kafe di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, menurut Komnas HAM, merupakan tindakan yang merendahkan martabat perempuan dan tidak manusiawi.
Senada, Komnas Perempuan menyebut kekerasan itu termasuk dalam penganiayaan seksual sehingga para pelaku harus dihukum.
Pihak kepolisian menyebut terdapat sekelompok orang melakukan tindakan persekusi terhadap dua perempuan yang diduga sebagai pemandu lagu di salah satu kafe di kawasan Pasir Putih Kambang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, pada Sabtu (08/04).
Dalam video yang beredar viral di media sosial, beberapa pelaku terlihat menggiring, menceburkan ke laut hingga menelanjangi pakaian korban.
Polisi telah memeriksa tujuh saksi dengan indikasi satu orang tersangka dan terus akan mengembangkan kasus tersebut. Polisi akan menjerat para pelaku dengan tiga tindak pidana, yaitu UU Kekerasan Seksual, UU ITE dan pasal 170 KUHP tentang pengerusakan.
Apa yang dialami dua perempuan itu?
Sumber gambar, Getty Images
Ilustrasi kekerasan.
Kepala Kepolisian Resor Pesisir Selatan, AKBP Novianto Taryono, menjelaskan, tindakan kekerasan terhadap dua perempuan yang diduga sebagai pemandu lagu di sebuah kafe itu terjadi di kawasan Pasir Putih Kambang pada Sabtu (08/04), sekitar pukul 23.30 WIB.
Novianto mengatakan, insiden berawal ketika sekelompok pemuda melakukan razia dengan mendatangi kafe yang buka pada malam hari. Dalam aksinya tersebut, mereka menemukan kedua korban.
“Dua warga tersebut lalu dibawa dan digiring ke laut, dan disuruh mandi di laut, sampai akhirnya ada perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dilakukan, yaitu mulai melucuti pakaian sampai tidak mengenakan busana,” kata Novianto dalam konferensi pers pada Kamis (13/04), seperti yang dilaporkan wartawan Halbert Chaniago di Sumatra Barat kepada BBC News Indonesia.
“[Kekerasan itu] dilakukan beramai-ramai oleh beberapa orang, dan kemudian, ini dilakukan dengan rekaman. Ada video direkam sampai di-upload di beberapa media sosial,” tambahnya.
Rekaman video itu kemudian viral di media sosial. Dalam video itu, terdengar korban meminta ampun dan mengaku tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Namun, para pelaku tetap menyeret dan menceburkan ke laut dan kemudian menelanjangi korban.
“Mandian kau jo ombak malam ko [Mandi kamu di ombak malam],” seorang pelaku berbicara.
Lalu yang lain mengatakan,”Telanjang a lai, [Telanjangi saja]”.
“Abang tolong Bang. Awak ndak ado mangapo ngapo do, [Abang tolong saya. Saya tidak berbuat apa-apa],” kata korban perempuan.
Menurut keterangan Novianto, usai melakukan kekerasan kepada kedua korban, para pelaku kemudian melakukan pengerusakan terhadap kafe tersebut.
“Lalu korban melaporkan dan kami bergerak cepat mulai Senin dengan deteksi lokasi, pelaku dan beberapa orang yang berhubungan. Sampai tadi malam kami terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap beberapa saksi,” ujarnya.
Setelah melakukan gelar perkara, polisi telah meningkatkan kasus tersebut ke tingkat penyidikan, kata Novianto.
“Sampai saat ini kami sudah periksa tujuh orang saksi, dengan mengarah ke satu orang [tersangka]. Artinya kami sudah punya nama, tapi belum bisa disampaikan dulu,” tambahnya
Terdapat tiga tindak pidana yang akan dikenakan kepada para pelaku, kata Novianto, yaitu Undang-undang (UU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Pornografi terkait tindakan pidana persekusi yang dilakukan.
Kemudian, UU Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait dengan publikasi video tersebut ke media sosial.
Terakhir, Pasal 170 KUHP terkait kekerasan terhadap orang atau barang, yaitu aksi pengerusakan kafe tersebut.
Sumber gambar, Detikcom
Kepala Kepolisian Resor Pesisir Selatan, AKBP Novianto Taryono
“Kami juga mohon bantuan dari seluruh komponen masyarakat untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya sehingga perkara yang kami tangani bisa segera terungkap dan terselesaikan, khususnya bagi kepala-kepala kampung, tokoh-tokoh pemuda yang berada di lokasi saya mohon bantuan. Serahkan orang-orang itu atau kami tidak akan berhenti mencari mereka,” ujarnya.
Novianto juga meminta kepada masyarakat jika menemukan terjadinya tindakan maksiat untuk melaporkan ke polisi, dan tidak melakukan aksi “main hakim sendiri yang akhirnya malah kebablasan”.
“Mencegah maksiat itu baik, tapi caranya yang tidak tepat, berlebihan, sehingga menyebabkan orang lain teraniaya,” ujarnya.
Komnas HAM: ‘Merendahkan martabat dan tidak manusiawi’
Sumber gambar, Getty Images
Aksi demonstrasi menentang kekerasan terhadap perempuan.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, mengecam dan menyesalkan aksi persekusi terhadap dua korban yang diceburkan ke laut dan ditelanjangi.
“Persekusi ini merupakan tindakan yang merendahkan martabat perempuan, tidak manusiawi, dan mestinya tidak perlu dilakukan karena jika ada persoalan yang muncul di masyarakat terhadap perempuan, tidak perlu ada persekusi, tetapi diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi,” kata Anis.
Mengapa tindakan persekusi, khususnya kepada perempuan, masih kerap terjadi di masyarakat?
Anis mengatakan diskriminasi terhadap perempuan menjadikan mereka kelompok kelas dua sehingga rentan mengalami stigmatisasi di tengah budaya patriarik yang masih sangat kuat di Indonesia.
“Perempuan menjadi objek, dan korban, bahkan kepada mereka yang bekerja di sektor tertentu seperti pekerja karaoke. Padahal yang datang juga banyak laki-laki.”
“Jadi karena posisinya adalah perempuan, kemudian dia distigmatisasi atas dasar moral. Kemudian merasa punya landasan untuk melakukan viktimisasi, mempermalukan, melakukan tindakan yang merendahkan,” tambah Anis.
Anis juga menambahkan bahwa tidak tepat untuk melakukan tindakan persekusi tersebut dengan mengatasnamakan bulan Ramadan.
“Selain tadi soal diskriminasi terhadap perempuan, tindakan ini menunjukkan gejala masih tumbuhnya intolerasi yang ada di Indonesia yang fanatik pada satu agama tertentu, tidak menghormati yang lain,” kata Anis.
Komnas Perempuan: Ini penganiayaan seksual
Sumber gambar, Getty Images
Demonstrasi menentang kekerasan seksual terhadap perempuan
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, melihat, persekusi yang terjadi itu merupakan bentuk penganiayaan seksual yang menjatuhkan martabat para korban.
“Ada yang ambigu di situ, kemarahan pada kegiatan yang dianggap mengandung unsur seks dalam dunia hiburan tetapi bentuk penghukuman yang dilakukan juga mengandung unsur seksual, yakni penelanjangan,” kata Mariana.
Mariana menjelaskan, berkaca dari kasus itu, para perempuan yang bekerja sebagai pemandu lagu telah dicap sejalan dengan potensi praktik prostitusi pada “laki-laki hidung belang”.
“Dan perempuanlah yang dianggap pihak yang memulai karena dianggap ‘mahluk penggoda’. Sehingga kemarahan dan penghukuman tersebut diarahkan pada perempuan. Ditambah lagi karena terjadi di bulan suci Ramadan, maka kemarahan terjadi berkali lipat,” ujarnya.
Baik Anis dan Mariana berharap agar penegak hukum segera menjerat para pelaku ke meja hukum dengan pasal kekerasan seksual dan meminta pemerintah untuk memperkuat literasi ke masyarakat yang berpihak kepada hak asasi perempuan.
Tokoh masyarakat berkilah ‘ada sebab, ada akibat’
Sumber gambar, Getty Images
Aksi demonstrasi menentang kekerasan terhadap perempuan.
Penjabat (Pj) Wali Nagari Kamang Barat, Elza Sumitra, menyayangkan terjadinya kekerasan tersebut.
Namun, jika ditarik ulur ke belakang, ujarnya, pemerintah Nagari (setingkat desa) Kamang Barat (lokasi terjadinya persekusi) telah mengimbau para pemilik kafe di lokasi tersebut untuk tidak beroperasi selama bulan Ramadan.
“Ada pelanggaran sebenarnya, ada hal yang sama-sama tidak pada tempatnya dan ini kita jadikan sebagai interospeksi diri, pemiliknya, pemudanya dan dari kami sebagai pemerintahan juga agar tidak bisa terulang lagi,” kata Elza.
Dia mengatakan, apa yang terjadi itu merupakan titik puncak dari tindakan pelanggaran yang dilakukan (kafe yang beroperasi) selama Ramadan.
“Saya mengapresiasi pemuda di daerah sana yang sudah membantu pekerjaan kami, tapi mungkin karena ada perlakuannya yang sedikit kurang tepat, namun demikian ke depan sama-sama kita perbaiki,” katanya.
Senada, pemuka agama dan juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Sumatra Barat, Duski Samad berkilah bahwa aksi persekusi itu merupakan akibat pelanggaran terhadap kearifan lokal.
“Misalnya tempat karaoke itu sudah melewati batas atau bagaimana, pasti ada pemicu dari tindakan warga tersebut. Kejadian ini juga terjadi di bulan Ramadan yang berkemungkinan ada hal sensitif yang terganggu,” kata Duski.
“Walaupun kita sayangkan perbuatan main hakim sendiri itu tidak bagus, tapi kasus ini kan ada hubungan sebab dan akibat.”
“Harusnya warga melaporkan kepada yang berwenang, tetapi ketika massa sudah bergerak tidak mudah untuk mengorganisirnya,” katanya.
Untuk itu kata Duski, diperlukan peran tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk saling mengingatkan dan mencegah perbuatan yang di luar kewajaran.
“Jadi dalam konteks hidup bermasyarakat yang paling penting itu saling memahami posisi masing-masing. Boleh bebas, tapi jangan sampai merampas kebebasan orang lain. Memang boleh orang melakukan sesuatu di daerahnya, tetapi tidak boleh pula keluar dari norma-norma,” katanya.
Reportase tambahan oleh wartawan Halbert Chaniago dari Sumatra Barat.