Kala Upacara Kemerdekaan di Sumber Mata Air Jadi Media Kritik Eksploitasi Lingkungan

MALANG RAYA128 Dilihat

InfoMalangRaya – Langkah Aris tak ragu menceburkan setengah badannya ke aliran air dari Sumber Umbul Gemulo, Sabtu (17/8/2024). Tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 tahun, ia bersama kawan-kawan kolektif aktivis lingkungan dan warga merefleksikan pesan penting tentang kelestarian lingkungan. Sebuah upacara bendera digelar di tengah aliran sungai sebagai simbol kritik dan penyadaran pentingnya sumber daya air. Mata air yang berada di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, itu menyimpan cerita panjang perjuangan melestarikan lingkungan. Warga sempat harus berhadapan dengan pembangunan hotel yang dikhawatirkan akan merusak dan mengeksploitasi keberadaan sumber air.
Baca Juga :
Bambang Rianto-Bayu Kuncoro Tambah Pede, Didukung 9 Partai Non Parlemen di Pilwali Blitar

Di tengah pagi yang sibuk dengan gemercik suara air, Aris yang seorang pegiat lingkungan dan kawan-kawannya menyiapkan prosesi upacara bendera. Digelar sederhana, bukan dengan tiang besi yang menjulang tinggi dan kain bendera yang lebar. Melainkan dengan batang kayu yang ditancapkan ke tanah dan bebatuan kali. “Menjaga Tanah Air Untuk Generasi” begitu Aris menyebut tema besar yang diangkat dalam upacara bendera yang dilangsungkan bersama Aliansi Selamatkan Malang Raya. Pria bernama lengkap Aris Faudin itu merupakan koordinator Kelompok Nawakalam Gemulo. Perkumpulan yang memperjuangkan hak atas ruang hidup dan kelestarian sumber mata air beserta peninggalan sejarah berupa punden di Umbul Gemulo. Airnya jernih dengan ditumbuhi gulma di sekitar dinding sungai. Sumber mata air yang banyak membawa manfaat bagi warga setempat itu berada di seberang salah satu hotel megah di Kota Batu. Di sanalah warga tak ingin ada pembangunan hotel lagi, terlebih merenggut ruang hidup dan sumber air alami yang terus menerus dijaga itu agar tak diprivatisasi. “Di Sumber Mata Air Gemulo ada satu peristiwa masyarakat berjuang mempertahankan kondisi kelestarian air bersih yang terancam 12 tahun lalu. Masyarakat menolak hotel di sumber mata air,” terang Aris. Isi dalam upacara, bagi Aris tak boleh lepas dari permasalahan mereka tentang alam. Mengingatkan sesama melestarikan sumber mata air. Ia bertugas sebagai inspektur upacara itu mengamanatkan tentang kesadaran generasi untuk menjaga dari eksploitasi berlebihan terhadap alam. Yang hingga kini terus terjadi, tak terkecuali di wilayah Kota Batu dan sekitarnya. “Kami ingin generasi muda mempertahankan sumber mata air ini sampai kapan pun. Sebab akan terus menerus dan banyak kepentingan ingin memakai. Kesadaran mereka terus kita kuatkan,” kata dia. Secara tidak langsung, kritik atas persoalan lingkungan disampaikan dengan upacara bendera di Umbul Gemulo itu. Mereka tak ingin berbagai upaya mengambil dan menguasai sumber air kembali terjadi.  Kelompok Nawakalam bersama berbagai kolektif organisasi lain terus menyuarakan melalui berbagai cara. Juga meningkatkan kesadaran dengan menggelar diskusi tentang lingkungan dan gerakan masyarakat pegiatnya. Pria bertubuh gempal itu juga mengajak siapaoun untuk turut mengkritisi kebijakan yang menyangkut ruang hidup masyarakat. Utamanya bersinggungan dengan sumber daya alam utama yang harusnya lestari. “Sama-sama kita bergerak, bareng Walhi, LBH, MCW, warga sekitar, kita tidak berjalan sendiri,” ucap Aris. Ia ditemani juga oleh Indra, anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim untuk menggerakkan warga. Pria asli Kota Batu bernama lengkap Pradipta Indra itu memilih melibatkan diri dalam advokasi Gemulo demi menjaga kotanya tetap asri dan tak dikuasai bisnis besar namun mengusik hidup warga lokal. Bagi Indra seharusnya Republik Indonesia yang kini menginjak usia ke-79 menyatakan kemerdekaan, terbebas dari belenggu kolonialisme terhadap warga sipil dan sumber daya alam. Indonesia harusnya merdeka atas kedaulatannya dalam mengelola sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Baca Juga :
Borneo FC Tuntaskan Dendam, Bekuk Arema FC di Stadion Soeprjiadi Blitar

Kendati memang sepanjang perjalanan kemerdekaan atas sumber daya alam yang melimpah demi kemakmuran masyarakat masih jauh dari kata terwujud. “Kita tahu, sebagaimana amanat konstitusi pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi ‘bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di- dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-­besar kemakmuran rakyat’.Pernyataan ini tentu memiliki dasar tentang bagaimana kebijakan pembangunan dan pilihan ekonomi. Namun dalam realisasinya prinsip yang ada dalam konstitusi tersebut justru diabaikan,” ungkap Indra. Warga asli Bulukerto itu beranggapan berbagai produk kebijakan malah berusaha menyingkirkan dan mengorbankan hak masyarakat luas atas nama kemajuan. Gambaran besarnya terlihat jelas di Kota Batu yang kini semakin maju dengan ragam bangunan pariwisata, yang dewasa ini mengorbankan atas hak-hak masyarakat sipil dan nilai-nilai ekologis yang berujung pada krisis sosial-ekologis. Jika dicermati, sambungnya, hal ini mulai muncul sejak Pemerintah Kota Batu melakukan revisi tentang Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Nomor 7 Tahun 2011. Perubahan revisi tersebut yang seharusnya menertibkan pelanggaran tata ruang serta menyelamatkan ekologis justru membuka ruang lebar eksploitasi sumber daya alam, dalam hal ini sumber air. Indra berujar, Eksploitasi sumber air di Kota Batu terjadi secara terstruktur dan masif. Dimulai dari privatisasi, pencemaran, hingga alih fungsi kawasan. “Rentetan praktik eksploitasi sumber air atas nama kemajuan seharusnya tidak boleh lagi dibiarkan terjadi, karena banyak merugikan di sisi kehidupan masyarakat serta mengguncang keseimbangan ekologis di tengah ancaman krisis iklim global yang kian parah. Pemerintah Kota Batu dewasa ini tidak melihat itu sebagai bentuk ancaman terhadap ketersediaan sumber air, namun justru menggelar karpet merah pada kran investasi yang sifatnya merusak,” tegas dia. Penegasan untuk terus menolak segala proyek yang merusak lingkungan terus digaungkan. Ia bersama Aliansi Selamatkan Malang Raya terus berupaya memperjuangkan hal tersebut mulai dari di tingkat kota. Kepada Pemerintah Kota Batu, pihaknya mendesak agar membuat kebijakan Perlindungan Ruang Hidup, khususnya sumber mata air, serta mengkaji daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah hulu Sungai Brantas dan Lereng Gunung Arjuna. “Sebab krisis sosial-ekologis yang diakibatkan dapat berdampak jangka panjang dan skala yang luas. Maka Pemerintah Kota Batu dalam harus membuat segala bentuk produk hukumnya untuk tetap menjunjung tinggi nilai transparansi dan akuntabilitas, serta mengutamakan partisipasi aktif dari seluruh unsur masyarakat,” imbuh Indra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *