oleh: Asih Subagyo
Pendidikan adalah pilar fundamental bagi pembangunan suatu bangsa. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, pendidikan yang berkualitas telah menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh banyak masyarakat.
Meskipun disadari bahwa di era modern ini, pendidikan bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa, membuka gerbang ilmu pengetahuan dan peluang masa depan. Di sisi lain, pendidikan di Indonesia terjerat dalam jerat kapitalisme, yang melahirkan kesenjangan dan ironi yang menganga lebar. Fenomena ini mencerminkan terjadinya kapitalisme pendidikan yang akut, di mana terjadi ketidakadilan bagi rakyat untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Belum lagi terkait dengan biaya pendidikan yang semakin mahal dimana semakin menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar dan disisi lain berbagai jenis kebijakan pendidikan, justru tak berpihak kepada rakyat kecil, bahkan semakin menghalangi akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Dan seolah negara dengan seluruh perangkatnya, tidak menyadari bahwa disparitas yang terjadi ini, akan membawa dampak bagi peradaban sebuah bangsa itu sendiri.
Biaya Pendidikan yang Semakin Mahal
Biaya pendidikan di Indonesia, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, terus meningkat setiap tahunnya. Meskipun kebijakan gratis dari pendidikan dasar hingga menengah, akan tetapi relatias terjadinya pungutan tambahan (liar) disekolah, telah menjadi rahasia umum.
Biaya pendidikan yang kian mahal menjadi momok bagi banyak keluarga. Fenomena Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri, bagaikan mimpi buruk bagi rakyat kecil. Kasus seperti di berbagai PTN, di mana UKT mencapai puluhan juta rupiah, membuat banyak calon mahasiswa cerdas dan berprestasi harus mengubur mimpi mereka untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Meskipun ada berbagai jenis skema bantuan bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu, kenyataannya banyak calon mahasiswa dan mahasiswa yang masih harus mencari sumber pendanaan tambahan atau bahkan mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikan karena alasan finansial. Sehingga banyak dijumpai mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi negeri, akhirnya mengundurkan diri, akibat dari ketidakmampuan untuk membayar UKT ini.
Selain itu, sekolah swasta umum dan keagamaan, termasuk pesantren, semakin menjamur dengan memberlakukan uang gedung dan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), dan sederet biaya lainnya yang sangat tinggi. Ini semakin memperparah ketidaksetaraan akses pendidikan, di mana hanya mereka yang mampu membayar mahal dapat menikmati pendidikan berkualitas. Ironisnya penyelenggarakan pendidikan swasta termasuk sejumlah pesantren, juga menikmati situasi sepeti ini. Untuk mendapatkan finansial, dari orang tua kelas menengah atas, dengan dalih memberikan layanan pendidikan yang lebih dengan menggunakan label internasional sebagai branding untuk marketingnya.
Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika kita melihat bahwa rata-rata IQ bangsa Indonesia berada di angka 78,49, menjadi terendah ke-2 di Asia Tenggara. Belum lagi jika menengiok sekor dari Program for International Student Assessment (PISA), sebuah evaluasi global yang mampu untuk memberikan gambaran mengenai sejauh mana sistem pendidikan suatu negara, dimana data terakhir di tahun 2022, Indonesia berada pada peringkat 68 dari total 81 negara partisipan, dengan skor matematika sebanyak 366, skor sains sebanyak 383, dan skor membaca sebanyak 359.
Sehingga wajar jika menengok data BPS yang menyatakan bahwa rerata level pendidikan rakyat Indonesia hanya selesai di kelas 7. Hal tersebut seharusnya menjadi refleksi bagi pengambil kebijakan, bahwa bertapa rendahnya kualitas pendidikan bangsa ini, dan pada saat bersamaan semestinya membuat regulasi pendidikan yang semakin baik.
Zonasi Penerimaan Siswa dan Praktik Suap
Zonasi penerimaan siswa di sekolah negeri tak kalah memprihatinkan. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk pemerataan akses pendidikan, justru memicu praktik suap dan korupsi. Orang tua yang ingin anaknya bersekolah di sekolah favorit, dan tidak masuk dalam wilayah zonasi sekolah tersebut, rela membayar sejumlah uang kepada oknum tertentu untuk mendapatkan tempat.
Praktik suap ini semakin marak terjadi karena sistem zonasi yang tidak adil. Sekolah-sekolah favorit terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara di daerah pedesaan, sekolah-sekolah berkualitas masih minim. Hal ini membuat anak-anak dari keluarga kurang mampu di daerah pedesaan atau daerah pinggiran menjadi termarginalisasi, karena mereka tidak memiliki akses yang sama dengan anak-anak dari keluarga kaya di kota besar. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas sistem pendidikan, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan yang akut dalam akses pendidikan.
Anggaran Pendidikan dan Penggunaan Dana Desa
Ironisnya lagi, meskipun anggaran pendidikan di APBN cukup besar, dimana menurutt amanat UUD adalah sebesar 20% dari APBN, akan tetapi berdasarkan penelitian Prof. Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mebingkar fakta bahwa dari 20% dari APBN itu, sekitar 52% dari anggaran tersebut digunakan untuk dana desa. Artinya, kurang dari 10% sesungguhnya anggaran pendidikan yang riil.
Meskipun pembangunan desa penting, alokasi dana ini menunjukkan bahwa anggaran pendidikan tidak sepenuhnya digunakan untuk memperbaiki kualitas dan akses pendidikan. Hal ini bertentangan dengan amanat UUD 1945 yang mengharuskan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kurangnya Politik Pendidikan yang Memadai
Ketiadaan politik pendidikan yang memadai di Indonesia semakin memperburuk keadaan. Kebijakan pendidikan sering kali bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan, tanpa visi yang jelas untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian terkait, tetapi juga harus menjadi agenda utama dalam pembangunan nasional.
Negara seolah-olah abai terhadap amanat UUD 1945, Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan”. Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang tegas untuk menekan biaya pendidikan ini. Harga buku pelajaran yang mahal, sebab meski sudah ada buku elektronik, faktanya kualitasnya dan muatannya jauh dari buku cetak, demikian juga seragam sekolah yang tidak terjangkau, dan berbagai biaya tambahan lainnya, terus membebani rakyat. Nampak bahwa, kapitalisme pendidikan sedang terjadi dan telah melencengkan tujuan mulia pendidikan, menjadikannya komoditas yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang berduit.
Penutup
Dengan demikian maka, kapitalisme pendidikan yang terjadi saat ini merupakan refleksi dari ketidakmampuan pemerinntah untuk menghadirkan sistem pendidikan yang adil dan merata. Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, bukan komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang mampu membayar mahal. Belum lagi terkait kurikulum, infrastruktur dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, diperlukan reformasi besar-besaran dalam sistem pendidikan nasional, mulai dari kebijakan anggaran yang lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan hingga penerapan sistem yang benar-benar inklusif dan adil. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengangkat derajat bangsa Indonesia di kancah internasional. Jika tidak maka bukan menjadi Indonesia emas, akan tetapi menjadi Indonesia (c)emas.
Penulis merupakan Ketua Bidang Ekonomi DPP InfoMalangRaya
Kapitalisme Pendidikan: Sebuah Pandangan Kritis
![Sekolah-Kaltara.jpg Sekolah Kaltara](https://infomalangraya.com/wp-content/uploads/2024/07/Sekolah-Kaltara.jpg)