Teori hermeneutika yang dibangun Hassan Hanafi bukanlah hal baru, sebelum dia para orientalis telah memasarkan teori-teori serupa, untuk menghilangkan otoritas para ulama dan mufassir
Oleh: Devi Muharrom Sholahuddin
InfoMalangRaya.com | KAUM LIBERAL masih memperbincangkan penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad. Tafsir klasik dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan kebutuhan umat Islam saat ini, sehingga bagi mereka, dibutuhkan sebuah metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman, bernama hermeneutika.
Salah satu tokoh yang menggunakan metode hermeneutika dalam teori penafsiran Al-Qur’an adalah Hassan Hanafi. Ia adalah doktor bidang filsafat di Universitas Kairo Republik Arab Mesir yang menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Doktoralnya dari universitas Sorbon Paris.
Dalam pemikirannya mengenai konsep hermeneutika Al-Qur’an, Hassan Hanafi dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Mohammed Arkoun, Abid Al-Jabiry, Nasr Hamid Abu Zaid, Fazlurrahman dan lain-lain, mereka ini masih dirujuk pengikut liberal sampai saat ini.
Hanafi menawarkan pendekatan sosial dalam menafsirkan Al-Qur’an (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr). dengan metode tafsir Al-Qur’an seperti ini, menurut Hanafi, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.
Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata.
Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan konsep penafsiran yang telah mapan dan disepakati para ulama terdahulu. Yaitu, realita mendeduksi makna dari teks.
Lebih lanjut, Hanafi mengembangkan teori hermeneutikanya melalui pendekatan fenomenologi yang ia adopsi dari teori fenomenologi Edmund Husserl. Menurutnya, ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang mufassir dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an.
Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche), tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an, apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan Muhammad ﷺ. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama.
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.
Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir. Teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia, maka, penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.
Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio politik dan bukan konflik teoritis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir.
Langkah-langkah penafsiran yang dikemukakan oleh Hanafi merupakan implikasi dari teori reduksi dalam Fenomenologi Husserl. Yang mana menurut Husserl, untuk mencari hakikat yang esensial dari suatu realitas adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presuppositionlessness).
Menurut Husserl, supaya dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu.
Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”.
Reduksi kedua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain.
Reduksi ketiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain untuk sementara harus dilupakan.
Apabila reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri.
Kaitan Teori Hanafi dengan Teori Husserl
Dari pemaparan diatas, ada dua tema besar mengenai teori penafsiran Al-Qur’an yang diusung oleh Hassan Hanafi akan penulis ungkap dalam tulisan ini. Pertama, teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitas, yang mana menurut Hanafi, makna teks Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.
Kedua, penggunaan fenomenologi dalam penafsiran Al-Qur’an. Pemahaman fenomenologi menurut Hanafi bertujuan untuk mencapai makna yang objectif dari sebuah teks, tanpa ada otoritas dari pemilik pendapat.
Hassan Hanafi lahir di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai pada tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis, dengan mengambil konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern.
Hanafi menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966, dengan tesis berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi berjudul L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son application au Phenomene Religiux.
Karir akademiknya dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat sebagai lektor, kemudian lektor kepala pada tahun 1973, kemudian profesor filsafat pada tahun 1980 di Jurusan Filsafat Universitas Kairo.
Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987.
Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar analisis kesadaran pada Pauk Ricouer, belajar bidang pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya, serta belajar fenomenologi dari Husserl.
Sampai saat ini, fenomenologi Husserl sangat kental mewarnai pemikiran Hanafi dalam membaca teks-teks keagamaan. Fenomenologi Edmund Husserl inilah yang mendasari karya-karya akademisnya L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son application au Phenomene Religiux, Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh, dan La Phenomenologie d L’Exegese: essai d’une hermeneutique existentielle a parti du nouvea Testanment.
Persentuhannya dengan berbagai metodologi diatas, mendorong Hanafi untuk mempersiapkan sebuah proyek “pembaharuan pemikiran Islam” (al-manāhij al-islāmī al-’Amm). Hanafi memulai proyeknya ini sekembalinya ke Mesir dengan mulai menggarap at-Turāts wa at-Tajdīd (tradisi dan modernisasi).
Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa at-Tajdīd berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min al-qadīm).
Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi Al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā minal-wāqī).
Dari hasil penelusuran penulis terhadap literatur Hanafi, penulis tidak menemukan satupun karya tafsir yang dihasilkan oleh Hanafi. Hanafi hanya meletakan premis-premis, metodologi penafsiran serta karakteristik penafsiran yang harus dihasilkan dari proses penafsiran.
Konsep teks dan Membaca teks
Dalam pandangan Hanafi, membaca teks pada dasarnya sinonim dengan proses memahaminya, adapun yang menjadi objek pemahamannya adalah teks. Dalam hal ini Hanafi mensejajarkan antara membaca teks dengan teori pengetahuan dalam filsafat skolastik yang ditandai dengan relasi subjek-objek, dimana jika pembaca adalah subjek, yang menjadi objeknya adalah teks.
Menurut Hanafi, membaca yang berarti memahami dengan sendirinya juga berarti menafsirkan dan menakwilkannya. Tafsir berada pada level kedua dalam proses pembacaan ketika pemahaman dengan persepsi langsung tidak dimungkinkan.
Instrumen pemahaman dalam tafsir adalah logika bahasa dan orientasi teks (tawjīh an-naṣ) atau konteks sosial dan spirit zaman. Jika penafsiran dengan logika bahasa menemui jalan buntu, sementara signifikansi teks, kebutuhan sosial dan spirit zaman semakin menguat, maka yang terjadi adalah proses ta’wil.
Lebih lanjut Hanafi menjelaskan, pembacaan suatu teks dapat menjadi kegiatan yang bercorak pribadi dan dapat pula mencerminkan dialektika sosial. Bentuk yang pertama terjadi ketika seseorang membaca teks orang lain yang berasal dari kebudayaan yang sama, sementara yang kedua adalah apabila seseorang melakukan pembacaan teks pada kebudayaan yang berbeda.
Pembacaan teks yang dilakukan dalam dua bentuk ini, tidak dapat dianggap sebagai tafsir, ta’wil dan syarh belaka terhadap objeknya. Melainkan harus dianggap juga sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut persepsi pembaca.
Di dalamnya tercakup pembacaan, analisis, kritik dan “rekonstruksi” untuk menyempurnakan struktrur dan penyingkapan aturan-aturan teks.
Kritik Hanafi Terhadap Tafsir Klasik
Berangkat dari ketidakpuasan Hanafi terhadap hasil interpretasi dari Tafsir Klasik, maka Hassan Hanafi melakukan kritik terhadap teori tafsir klasik yang telah dibangun oleh ulama Tafsir.
Menurut Hanafi, tafsir klasik tidak memiliki teori solid yang memiliki prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, sebab tafsir klasik tidak melampaui fase syarah (komentar), tafsīl (detailisasi), tikrār (pengulangan) dan penjelasan tentang apa yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya.
Disisi lain ia mengabaikan kehidupan, problem, beban dan kebutuhan manusia. Sebagai akibatnya, teks keagamaan berkutat pada dirinya sendiri, karena berlandaskan pada makna-maknanya dari jangkauan dalam makna awal ayat.
Hanafi menjelaskan, ada dua kelemahan dalam tafsir klasik yang dianggap krisis dan sangat berpengaruh besar, dua krisis kelemahan yang menjadi sasaran kritik Hanafi adalah krisis orientasi dan krisis epistemologis.
Dalam pandangan Hanafi, tafsir Al-Qur’an klasik tidak pernah melakukan perbincangan teoritis semacam ini secara tuntas. Akibatnya, tafsir klasik tidak otonom, namun terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin keilmuan klasik Islam.
Bagi Hanafi, Al-Qur’an bukan sama sekali buku panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, mistik, buku pengetahuan, atau panduan sosial-politik atau buku tentang metafor.
Menurut Hanafi, Tafsir klasik terjebak dalam corak penafsiran disipliner diatas, kemudian bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan tafsir analitik (at-tafsīr at-taḥlīlī) dalam konsep Hanafi, tafsir ini disebut dengan at-tafsīr at-tūlā, suatu kegiatan penafsiran yang bertele-tele.
Tafsir yang menguraikan teks-teks Al-Qur’an dari mulai Surah al-fātiḥah sampai Surah an-Nās di akhir al-Qur’an. Metode penafsiran semacam ini, menurut Hanafi, hanya akan melahirkan penafsiran yang parsial, bercampur baur antara satu tema dengan yang lainnya. Bahkan hanya akan mengulan-ngulang tema yang diperbincangkan.
Tafsir seperti ini, kata dia, tidak memiliki struktur tema yang rasional dan riil yang bisa menyajikan argumennya dari dalam dan bukan dari luar. Dengan kata lain Hanafi menyatakan, metode tafsir ini kehilangan ideologi yang koheren, pandangan dunia yang bersifat global dan tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan masyarakat kontemporer.
Metode Hermeneutika Hassan Hanafi
Dalam berbagai artikel, makalah bahkan yang lebih spesifik adalah dalam pengantar buku Tradisi dan Modernisasi (at-Turats wa at-Tajdid) Hanafi menyatakan bahwa mega proyek daripada “Tradisi dan Modernisasi” adalah upaya rekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya dalam wahyu, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping pendasaran kepada realitas kontemporer dan tradisi klasik.
Tujuan akhirnya adalah transformasi wahyu kedalam disiplin kemanusiaan yang komprehensif. Untuk kepentingan diatas, Hanafi merencanakan sebuah hermeneutika yang mencakup berbagai teori interpretasi, baik atas teks maupun terhadap realitas.
Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika, dari sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia.
Baginya, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.
Melihat berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik, Hanafi menawarkan teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ia rumuskan melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran ini dengan ”hermeneutika sosial” (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr) atau lebih tepatnya metode tafsir tematik (at-tafsīr al-mauḍū’ī).
Dengan hermeneutika Al-Qur’an seperti ini, menurut hanafi, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks, bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami.
Berhubungan dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini, Hanafi meletakan premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna dari teks Al-Qur’an. Premis-premis itu adalah:
Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche), tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an yang banyak diperdebatkan oleh kalangan orientalis, bahkan sebagian tokoh liberal seperti Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun, apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan Muhammad ﷺ.
Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu. Menurut Hanafi, dalam tahap interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi relevan, karena teks adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau manusiawi, sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan dengan isi teks tersebut.
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, dianggap seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama, baik itu yang sakral atau profan, termasuk Al-Qur’an.
Al-Qur’an menurut Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi bahasa manusia, sebagaimana halnya juga hadits Nabi.
Ketiga, tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.
Konflik interpretasi mencerminkkan pertentangan kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat linguistik bahasa selalu berubah-ubah. Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan makna penafsiran terhadap teks hanyalah preposisi formal yang sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum keserupaan.
Menurut Hanafi, kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang menyebabkan teori keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.
Keempat, tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.
Terakhir, konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok epistemologis.
Seolah Baru tapi Kuno
Teori hermeneutika yang dibangun Hanafi sebagaimana penulis paparkan diatas, bukanlah hal baru. Jauh sebelum Hanafi, para orientalis telah memasarkan teori-teori Hermeneutika sebagai metodologi studi Al-Qur’an.
Hanafi menyusun metodologi penafsiran Al-Qur’an bukan dengan teori ‘ulūm Al-Qur’ān yang selama ini telah mapan dan banyak dipergunakan oleh ulama-ulama Islam dalam menafsirkan Al-Qur’an, melainkan dengan pendekatan filsafat.
Sehingga lahirlah Hermeneutika sosial yang lebih mengutamakan realitas daripada wahyu itu sendiri. Ayat-ayat Al-Qur’an menginduksi makna dari realitas yang ada dan berkembang saat penafsiran Al-Qur’an.
Hanafi juga mencoba untuk menghilangkan otoritas para ulama yang telah berjasa mengkoodifikasikan aturan-aturan bagi seorang mufassir. Hal ini Hanafi lakukan dengan mengadopsi teori fenomenologi Husserl. Sehingga penafsiran Al-Quran seolah-oleh bisa dilakukan oleh semua orang tanpa otoritas.*
Penulis alumni UNIDA-Gontor. Artikel diambil dari laman CIOS