Infomalangraya – MALANG KOTA – Lahan perumahan di Kota Malang semakin terbatas. Hal itu berdampak pada harga properti yang terus melambung.
Sebagian developer memutuskan untuk fokus mengembangkan properti di lahan yang pernah mereka kembangkan.
Sebab, untuk membangun perumahan di lokasi baru harus melakukan banyak penyesuaian.
Luas Wilayah Kota Malang sendiri mencapai 11.006 hektare.
Mengacu pada revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010-2030, luas kawasan perumahan dibatasi 65,42 persen dari luas Kota Malang.
Artinya, luas lahan perumahan di Kota Malang tidak boleh melebihi 7.200 hektare.
”Sekarang, luas perumahan eksisting berdasar peta tutupan lahan RTRW sebesar 4.103,08 hektare,” kata Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Malang Dwi Rahayu, kemarin (23/5).
Menurutnya, lahan yang masih berpotensi untuk dikembangkan menjadi permukiman tersisa 3.117,29 hektare.
Selain pengaturan luas lahan hunian, Pemkot Malang juga melakukan zonasi terhadap lima kecamatan.
Kecamatan Kedungkandang menjadi kawasan industri, Lowokwaru dan Klojen difokuskan menjadi kawasan pendidikan.
Sementara untuk Sukun, Blimbing, dan sebagian Kecamatan Kedungkandang akan ada perumahan baru.
”Walaupun ada zonasi kawasan, tapi tidak menutup kemungkinan bakal ada pembangunan perumahan baru di kawasan pendidikan di Kecamatan Klojen,” terang Dwi.
Pembatasan luas lahan untuk perumahan dilakukan lantaran lahan hijau untuk sawah di Kota Malang tersisa sekitar 803 hektare.
Jumlah tersebut terancam menyusut karena pembangunan perumahan.
Pembatasan itu membuat para developer memutar otak untuk tetap bisa mengembangkan properti di kota ini.
Misalnya yang diungkapkan Direktur Utama PT Primaland Indonesia Hanip Margo Prasetyo.
Salah satu proyek pengembangan perumahan miliknya terkena dampak pembatasan untuk LSD (Lahan Sawah Dilindungi).
Proyek itu berada di Kelurahan Tunggulwulung dan Kelurahan Tasikmadu.
”Proyeksi kami di sana bisa mencapai 10 hektare. Ternyata stuck di lima hektare. Tapi semua sudah clear,” ujarnya.
Margo menyatakan, selama tiga tahun terakhir pihaknya tetap bisa mencatatkan peningkatan penjualan. Peningkatan mencapai 25 persen.
Segmen perumahan yang dia kembangkan adalah kalangan middle up. Peminatnya dari kalangan dengan rentang usia 30-50 tahun.
”Dari sembilan proyek yang kami kerjakan, seluruhnya berada di Kecamatan Lowokwaru. Ke depan kami masih fokus di daerah tersebut,” tutur Margo.
Sempat ada pihak yang menawarkan kawasan-kawasan seperti di Kelurahan Sukun, Kelurahan Mulyorejo, dan Kelurahan Bandulan.
Namun posisinya kurang sesuai dengan kalangan middle up yang menjadi sasarannya.
Strategi serupa diungkapkan Marketing and Project Manager Araya Teguh Widjajanto.
Sebagai pengembang perumahan yang berfokus membentuk kota mandiri, pihaknya hanya mengembangkan di satu titik yang paling strategis di Kota Malang.
Yakni di Kecamatan Blimbing. Saat ini, pengembangannya sudah mencapai 600 hektare.
”Pembelinya didominasi keluarga muda dengan rentang usia 30-50 tahun. Porsinya mencapai 60 persen. Sisanya dari usia 50 tahun ke atas dan kalangan investor,” sebut pria yang akrab disapa Yoyok itu.
Menurutnya, hunian yang paling diburu di Araya adalah unit rumah dengan 2-3 kamar tidur. Kisaran harganya Rp 800 juta hingga Rp 1,5 miliar.
Segmen yang biasa membeli unit seperti itu adalah mereka yang memiliki penghasilan antara Rp 10 juta sampai Rp 15 juta.
Kemampuan mereka dalam membayar angsuran KPR antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per bulan.
Ditanya soal pengembangan perumahan ke depan, Yoyok mengakui bahwa di Kota Malang agak susah mendapat lahan untuk perumahan baru.
Kalaupun untuk perumahan, biasanya dalam kisaran 2-5 hektare saja.
Tantangan Generasi Muda
Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Malang Dony Ganatha mengungkapkan, lahan untuk perumahan baru di Kota Malang sudah sangat terbatas.
Kondisi itu menjadi salah satu alasan mengapa nilai jual objek pajak (NJOP) di Kota Malang naik hingga 400 persen.
”Pajak tahunannya sebenarnya masih ringan. Tapi pajak transaksinya tinggi sekali,” tuturnya.
Menurut Dony, harga perumahan di Kota Malang saat ini sudah berada di atas Rp 500 juta.
Dengan harga yang semakin mahal, dia menilai anak muda dengan gaji setara upah minimum kota (UMK) yang di kisaran sebesar Rp 3,1 juta sangat sulit untuk membeli rumah.
Jika kalangan milenial ingin membeli rumah dengan angsuran di bawah UMK Kota, maka uang muka yang dibayar harus besar.
Misalnya untuk rumah dengan harga Rp 400 juta.
Dengan uang muka Rp 80 juta, maka pihak pembeli masih harus mengalokasikan uang untuk angsuran sebesar Rp 3 juta per bulan (untuk tenor 20 tahun).
Jika harga rumah Rp 500 juta, gambaran simulasinya adalah uang muka Rp 110 juta dan angsuran Rp 4,8 juta per bulan selama 20 tahun.
Hal yang sama diungkapkan Ketua Real Estate Indonesia (REI) Malang Suwoko.
Menurutnya, milenial dengan penghasilan setara UMK Kota Malang akan kesulitan untuk membeli rumah di kota ini.
Kecuali jika mereka mendapat bantuan keuangan dari orang tuanya.
Dia menjelaskan, harga rumah baru di Kota Malang minimal di kisaran Rp 550 juta hingga Rp 600 juta.
”Harga tahun ini juga naik sekitar 10 hingga 15 persen, dipengaruhi kenaikan NJOP dan harga bahan bangunan,” ujarnya.
Dia menambahkan, pembeli rumah di Kota Malang saat ini sudah banyak yang merupakan pendatang dari luar Kota.
Seperti dari Sidoarjo, Surabaya, Pasuruan, dan Jember.
“Dari luar pulau juga semakin banyak. Biasanya mahasiswa yang dari luar kota, sekalian orang tuanya investasi dibelikan rumah daripada ngekos,” tutupnya. (mel/dur/fat)