InfoMalangRaya – Skema rekonsiliasi antara BPJS Kesehatan dan Pemkab Malang untuk mengurai persoalan PBID nonaktif, masih menemui jalan buntu. Pemkab Malang lebih mengandalkan program jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui PBI Pemerintah agar terpenuhi jaminan kesehatan warga miskin.
“Jadi, ada skema PBIN dari pemerintah bagi warga miskin. Di Kabupaten Malang, penerima bantuan iuran ini sejumlah sekitar 1 juta peserta. Ini, sudah melebihi angka kemiskinan yang hanya 10 persen,” terang Kadinkes Kabupaten Malang, dr Wijanto Wijoyo, ditemui di ruang kerjanya, Selasa (3/10/2023) siang.
Skema memasukkan warga miskin Kabupaten Malang menjadi peserta JKN penerima PBIN ini, disebutnya sebagai plan B, ketika status aktif PBID tidak bisa dipastikan.
“Kuota bantuan pemerintah ini yang akan dimaksimalkan. Melalui Dinas Sosial, sudah bisa dimasukkan setidaknya 49 ribu warga miskin menjadi peserta PBIN. Sisanya, menunggu antrean,” terangnya.
Dengan jaminan kesehatan melalui kuota PBIN yang sudah ada ini, menurut Wijanto justru akan memunculkan pertanyaan, terkait perlu tidaknya PBID oleh pemerintah daerah.
“Kalau masih ditambah PBID (dengan bantuan APBD), ini artinya angka kemiskinan jauh melampau maksimal 10 persen yang ditanggung jaminan kesehatannya. Berarti kan, pemerintah gagal,” tanya dr Wi, memperjelas penting tidaknya PBID.
Belum jelasnya pengaktifan kepesertaan PBID, antara pihak pemkab Malang dengan BPJS Kesehatan terkesan saling mempertahankan permintaan masing-masing.
Menurut Wijanto, pemkab Malang sebenarnya sudah berupaya menganggarkan pembiayaan bagi 172.666 orang warga miskin yang bisa menjadi peserta aktif PBID. Jumlahnya dialokasikan sekitar Rp 6 miliar.
Akan tetapi, lanjutnya, ini tidak bisa direalisasikan karena memang permintaan pengaktifan kepesertaan PBID mereka belum disetujui pihak BPJS Kesehatan Malang.
“Rekonsiliasi sudah kita lakukan, bersama bagian hukum dan kerja sama pemkab Malang. Ada juga pihak BPK yang mendampingi. Dan, berita acara hasil rekonsiliasi kami mereka (BPJS Kesehatan) yang nggak mau tanda-tangani (menyetujui). Jadi, bukan soal simpel tidak simpel dibayar utangnya selesai, itu dulu yang harusnya disetujui,” tuding Wijanto.
Sebaliknya, kata dr Wijanto, pihak BPJS menghendaki kemunculan nominal tanggungan utang pembayaran iuran yang nantinya harus dibayarkan pemkab Malang. Jumlahnya, diperkirakan sekitar Rp 87 miliar.
“Yang diinginkan mereka (BPJS Kesehatan) dalam berita acara hasil rekonsiliasi ini muncul angka hutangnya yang diakui berapa. Ya, Bupati Malang tidak mau lah, lah karena datanya saja masih belum beres, kok,” tandasnya.
Ditanya soal munculnya PBID yang akhirnya membebani anggaran daerah, diakuinya memang sebuah kesalahan. Terlebih, jika harus membayarkan utang iuran yang tertanggung, maka kan menjadi catatan disclaimer karena memang tidak dianggarkan sebelumnya di APBD Kabupaten Malang.
Dengan tidak kunjung ada pengaktifan kembali kepesertaan PBID ini, disadari pemkab Malang akan dihadapkan pada penilaian program UHC (Universal Health Coverage) yang setengah-setengah atau kinerja bidang kesehatan yang kurang maksimal.
Menanggapi hal ini, Wijanto menyatakan, bahwa program UHC tidak bisa dipaksakan, lantaran memang harus dengan kekuatan anggaran untuk pembiayaan pada bantuan jaminan kesehatan masyarakat.
“Ya, tidak begitu (setengah hati) semestinya, karena UHC itu juga tidak bisa dipaksakan. Ya, kita lihat nanti, setelah tidak ada atau tidak aktif PBID ini, segmen kepesertaan mandiri seberapa meningkatnya. Nah, baru yang warga miskin ini tetap diupayakan melalui PBID ini,” pungkas pria yang sebelumnya Kepala Puskesmas Pakis ini. (Choirul Amin)
The post Rekonsiliasi Masih Buntu, Jaminan Kesehatan Warga Miskin Andalkan PBI Pemerintah appeared first on infomalangraya.com.