Disuatu pagi yang cukuo cerah, langit terlihat begitu luas dan biru, sedikit dihiasi gemawan yang membentuk gumpalan-gumpalan kecil nan menambah indah saat Kang Pardi mendingakkan kepalanya.
Kang Pardi melewati beberapa orang yang sedang duduk dipinggiran rumah kang Juki yang memang nyaman untuk sebuah tongkringan. Orang-orang tua dan muda sering terlihat bercengkerama disitu.
Kang Pardi-pun menoleh sambil senyum dan geguyonan menyapa orang-orang tersebut dengan gaya seolah sedang orasi
“Selamat pagi Rakyat Indonesia, walaupun cuma leyeh-leyeh dan cangkruk tok, tapi masih bisa tertawa lepas sambil kebal-kebul, dikolong dunia manapun tidak ada yang bisa seperti njenengan dalam menikmati hidup”
“Biar saja meskipun sampean dikatakan pemalas, karena memang semangat hidup sampean tidak berlomba-lomba dengan segala cara untuk mengumpulkan harta”
“Abaikan saja mereka yang mengatakan bahwa sampean pemalas dan tak berguna, sebab semangat hidup sampean adalah urip mung sa’dermo mampir ngombe, sementara mereka punya semangat time is money”
“Toh nongkrong sampean juga bagian dari bersiasat dalam menghadapi tekanan ekonomi, yang tak jarang itu juga akibat dari kebijakan yang diambil oleh politisi yang justru keluar dari amanah konstitusi negara dan malah akhirnya cenderung menguntungkan para pengusaha serakah (kapitalisme). Toh nongkrong e sampean juga sambil entah sedang jualan barang bekas atau makelaran suatu barang untuk mendapatkan sedikit keuntungan, seolah sampean semua itu beraktifitas hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai kepala rumah tangga”
“Maka saya juga bersepakat dan memang janganlah nggethu persoalan dunia, persoalan materi, biar urip sampean menjadi lebih tenang, sehingga lebih mudah dalam menciptakan kebahagiaan. Ingat ya, orang yang terkihat kaya itu, apalagi jika mendapatkannya dengan segala cara, maka pikiran dan perasaan mereka, sudah pasti akan selalu merasa gelisah sepanjang hidupnya. Mereka itu sejatinya hanya mampu menciptakan kesenangan, bukan kebahagiaan” Kata Mbah Kyai Pardi
“Lha koq bisa gitu kenapa Mbah Yai ?” Tanya Sardi
“Karena sampean hidup di tanah surga, dimana tanah yang sedang sampean injak ini sangatlah subur dan didalamnya menyiapkan ribuan atau bahkan jutaan ton emas, minyak, batu permata dlsb. Sampean tidak sedang hidup diatas tanah kerontang yang tak mampu menumbuhkan segala jenis buah dan tanaman obat-obatan, selain sampean juga tidak hidup di Negara Industri yang umumnya tanahnya kering atau sangat kurang subur untuk bisa ditumbuhi segala macam jenis buah dan tanaman obat. Dan semangat dasarnya dalam hidup untuk mengejar materi sebanyak mungkin agar bisa bertahan hidup dalam waktu yang panjang. Lalu kondisi itu dimanfaatkan oleh para Industrialis sebagai gaya hidup, sehingga mereka tanpa sadar hidupnya hanya untuk mengejar keseolah-olahan alias penuh dengan kamuflase, kepura-puraan” imbuh Mbah Kyai Pardi
“Tapi njenengan semua berlombalah dalam menciptakan kebaikan kepada sesama manusia” Lanjut Mbah Kyai Pardi yang berdiri tepat disepan mereka. Tetiba saja usai ngomong dengan gaya orasi tersebut Mbah Kyai Pardi pamitan.
“Sampun nggih, maturnuwun sudah bisa membuat saya ikut bahagia melihat njenengan semua, pangapunten” tutup Mbah Kyai Pardi, lalu berjalan melanjutkan jalannya menuju warung Teteh Utie langganannya, seorangdari Jawa Barat yang merantau ke desa kemekel tetangga desa tempat Mbah Kyai Pardi tinggal.
“Nggih Mbah Kyai, maturnuwun atas wejangannya, monggo tindak, pangapunten” Jawab Kang Juki mewakili rekan-rekannya.