Sumber gambar, TPNPB-OPM
Setelah terjadi baku tembak dalam upaya penyelamatan pilot Susi Air asal Selandia Baru, beberapa pihak menyarankan untuk dilakukan negosiasi.
Beberapa pihak dorong upaya negosiasi dalam pembebasan pilot pesawat Susi Air, setelah terjadi baku tembak antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merenggut korban jiwa.
Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua Theo Hasegem mengatakan di situasi seperti ini keselamatan pilot adalah hal utama yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak, apalagi dia menduga pilot asal Selandia Baru itu sudah “merasa tidak nyaman” dan “trauma” sesudah peristiwa berdarah itu.
“Kalau sudah diawali dengan baku serang, saya pikir itu harus hati-hati karena pilot bisa kena… Dan itu kita sudah buat masalah dengan negara lain karena warga negara lain yang jadi korban,” kata Theo kepada BBC News Indonesia, Senin (17/04).
Menurut dia, seharusnya penyelamatan pilot dilakukan tanpa kekerasan, tanpa ada penangkapan, dan intimidasi terhadap siapapun.
Oleh sebab itu, Theo mengusulkan perlu dilakukan “dialog terbuka yang difasilitasi pihak ketiga” dengan membuat tim negosiasi khusus, sebelum negosiasi dimulai.
“Kira-kira siapa tim negosiasinya yang dapat dipercaya oleh Egianus [Pemimpin TPNPB-OPM], dipercaya oleh pemerintah Indonesia, dan dipercaya oleh pihak Selandia Baru. Itu perlu orang-orang yang independen,” ujar dia.
Sebelumnya, pada Minggu (16/04), Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan pihaknya akan tetap melancarkan serangan sampai dialog berlangsung di meja perundingan untuk membicarakan tuntutan mereka.
Pihaknya juga meminta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan pemerintah Selandia Baru untuk mendesak “operasi militer” yang dilakukan pemerintah Indonesia dihentikan.
Sebby menyebut serangan yang dilakukan TPNPB-OPM merupakan serangan balasan karena pada 23 Maret lalu TNI/Polri “sudah melakukan operasi militer di Ndugama yang menewaskan “ibu hamil” dan “dua anggota TPNPB”.
Penyerangan terhadap aparat itu, juga dikatakan Sebby Sambom, dilakukan karena Panglima TNI Yudo Margono tidak menepati janji untuk menempuh upaya persuasif dalam membebaskan sandera pilot Philip Max Merhtens.
“Sekali lagi kami tegaskan, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan kabinet tidak bisa alergi untuk duduk di meja perundingan dengan kami daripada pasukan Anda banyak mati,” kata Sebby.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon— selaku mitra kerja TNI—mengatakan pergerakan yang dilakukan TNI merupakan “operasi yang bersifat persuasif”, bukan operasi besar-besaran yang berdampak pada masyarakat di sekitar wilayah operasi.
Dia menyebut TNI masih mengedepankan cara persuasif dalam operasi pembebasan pilot Susi Air dan langkah yang dilakukan sudah sesuai dengan “perhitungan” yang memiliki dasar “informasi intelijen” yang diterima.
“Panglima TNI Laksamana Yudo konsisten ya pada sikap TNI, baik panglima sebelumnya, dan itu sikap pemerintah kita, sikap politik dari pemerintah pusat, sikap dari presiden dan DPR yang diterjemahkan oleh TNI.
“Dan TNI kan bergerak atas izin presiden dan DPR,” kata Effendi kepada BBC News Indonesia, Senin (17/04).
Sumber gambar, Antara foto
Kapuspen TNI Julius Widjojono, memastikan pihaknya akan tetap melakukan pendekatan ‘keras’ berupa bantuan tempur dengan kekuatan maksimal pasca-insiden yang terjadi Sabtu (15/04) lalu.
Dalam peristiwa baku tembak yang terjadi pada Sabtu (15/04) TPNPB-OPM mengeklaim 12 anggota TNI tewas, tetapi TNI mengklaim korban dalam operasi pengintaian dan upaya penyelamatan sandera ada satu orang.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan sejumlah prajurit masih dicari setelah terjadi peristiwa itu. Sampai hari ini, TNI belum merilis jumlah prajuritnya yang hilang.
Julius mengatakan Panglima TNI Yudo Margono telah memerintahkan agar upaya pencarian tetap dilakukan dan “bantuan tempur dengan kekuatan maksimal” diberlakukan.
Siapa pihak ketiga yang bisa jadi penengah?
Theo Hasegem, yang juga merupakan Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, menilai sikap mengedepankan negosiasi yang dimiliki TPNPB-OPM “tidak memiliki strategi” sehingga sulit terwujud.
Sebab, menurut Theo, “tidak mungkin” pihak mereka sendiri yang turun untuk bernegosiasi dengan pemerintah pusat, seperti yang dikehendaki TPNPB-OPM.
“Tim independen itu bisa melakukan negosiasi kepada tiga pihak itu dan tim itu tidak bisa menjual OPM ke tangan TNI dan tidak bisa menjual TNI ke tangan OPM,” kata Theo menjelaskan.
Menurut dia, pihak independen yang dimaksud adalah Komisi HAM Tinggi PBB, mengingat tuntutan TPNPB-OPM adalah kemerdekaan Papua.
Pihak itu tentunya didukung oleh tim lokal yang dipercaya oleh semua pihak, entah itu dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok gereja, atau dari pembela HAM.
Sudah lebih dari dua bulan pilot Susi Air yang memiliki kewarganegaan Selandia Baru disandera oleh TPNPB-OPM. Dengan waktu selama itu, Theo Hasegem menilai pemerintah sudah “tidak mampu” membebaskan sandera dan menyarankan pemerintah untuk menyerahkan pembebasan kepada Selandia Baru.
“Mungkin sudah ada pertemuan antara pemerintah dengan pemerintah Selandia Baru, saya yakin itu sudah. Di situ mungkin ada kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibuat.
“Tapi ketika sudah ada tindakan brutal seperti ini, menurut saya kesepakatan itu sudah gagal karena sudah didahului dengan pembunuhan, penembakan, penangkapan, dan kemudian terjadi penyerangan,” ujar Theo.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Satgas Damai Cartenz yang terlibat dalam upaya pembebasan pilot Philip mengatakan negosiasi terus dilakukan oleh pimpinan daerah.
Tim itu dikoordinasikan oleh Penjabat Bupati Nduga, Namia Gwijangge. Namun, Kepala Humas Satgas Damai Cartenz Donny Charles Go menegaskan poin-poin penawaran dari tim negosiasi tidak bisa disampaikan secara terbuka.
Tetapi, pihak TPNPB-OPM berkukuh hanya ingin bernegosiasi dengan pemerintah pusat karena ini “masalah politik”.
‘Presiden dan DPR pantas disalahkan’
Sumber gambar, TPNPB-OPM
Salah satu pemimpin kelompok TPNPB-OPM di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua
Pengamat militer dari Universitas Paramadina, Al Araf, mengatakan pemerintah bisa mengambil upaya perdamaian untuk Papua, dengan cara serupa seperti yang pernah dilakukan di Aceh, Poso, dan Ambon.
“Kenapa Papua tidak mau? Itu buat saya aneh dan yang pantas disalahkan atas peristiwa kemarin adalah Presiden dan DPR,” kata Al Araf kepada wartawan BBC News Indonesia Quin Pasaribum Minggu (16/04).
“Kasih mereka ruang untuk bicara, bangun negosiasi.”
Baginya, cara-cara persuasif dan dialogis akan membuka ruang penyelesaian dalam jangka panjang ketimbang menggunakan pendekatan keamanan.
Pemerintah bisa menunjuk utusan khusus yang dipercaya kedua belah pihak seperti yang dilakukan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menunjuk Jusuf Kalla untuk menjadi juru damai di Aceh.
“Sudah cukup prajurit TNI tewas. Sekarang saatnya berpikir yang lebih ke depan dengan pendekatan persuasif.”