IMR – Setiap musim hujan, sejumlah titik di Kota Malang tergenang. Padahal Malang berada di dataran tinggi dan dilintasi empat sungai besar, termasuk Kali Brantas. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi salah satu penyebabnya.
Genangan merupakan problem yang luar biasa di Kota Malang. Setiap tahun sejumlah titik drainase ditangani, terbaru ada wacana kawasan Jalan Soekarno-Hatta, Malang juga akan merelokasikan “Proyek Banjir Suhat” dengan anggaran yang mencapai 23 miliar rupiah.
Dalam proyek normalisasi drainase di suhat ini juga mulai bermunculan beragam pro kontra. Salah satunya adalah Dr. Purnawan Dwikora Negara, SH, MH, yang menegaskan.
Bahwa kalaupun proyek ini nantinya tetap berlanjut pihaknya menuntut untuk tidak ada satu pun pohon yang ditebang. Jaringan drainase harus direkayasa tanpa menggusur pohon yang ada.
Karena menurutnya, pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang karena memiliki peran ekologis yang krusial dalam mencegah banjir, menyerap polutan, serta menjaga keseimbangan lingkungan.
Apalagi sebelumnya menurutnya kebijakan penebangan di lokasi tersebut sebelumnya tidak diikuti dengan reboisasi.
“Kami tidak percaya janji wali kota, karena pengalaman sebelumnya menunjukkan tidak ada penanaman ulang”, tambah akademisi yang akrab Doktor Pung ini.
Menurutnya, penyebab utama banjir di Malang bukanlah keberadaan pohon, melainkan alih fungsi lahan, penyempitan sungai, serta eksploitasi ruang terbuka hijau untuk kepentingan pembangunan.
Ia menilai kebijakan yang tidak terkoordinasi dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan berikutnya menyebabkan permasalahan drainase terus berulang.
Selain itu, Dr. Purnawan menyinggung dugaan bahwa proyek-proyek normalisasi banjir kerap menjadi ajang studi banding dan proyek beraroma korupsi tanpa solusi konkret.
Ia mencontohkan kasus di Jalan Bondowoso dan studi ke Belanda yang dinilai tidak membawa perubahan signifikan terhadap pengelolaan drainase di Malang.
Ia juga menegaskan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Taman dan Dekorasi Kota telah mengatur perlindungan terhadap pohon, termasuk jenis trembesi dan sono.
Apalagi Kota Malang yang dulu dikenal sebagai Kota Bunga kini semakin gersang akibat pengurangan ruang hijau tanpa penggantian yang sepadan.
Dr. Purnawan bersama mahasiwanya berharap Wali Kota Malang yang baru dapat memperbaiki kebijakan lingkungan dengan lebih bijak, tanpa menggusur ruang hijau.
Ia juga mendukung program peningkatan keanekaragaman hayati kota, seperti menanam lebih banyak pohon untuk menarik kembali burung, kupu-kupu, dan satwa lain yang pernah hidup di lingkungan Malang.
“Silakan kalau mau menebang, tebang betonnya, bukan pohonnya,” tegasnya.
Sebagai informasi Purnawan bersama sejumlah Mahasiswa FH-UWG (Universitas Widya Gama) penempuh Hukum Lingkungan pada 13/3/2025 melakukan aksi simpatik dengan mengikatkan pita hitam dan memberikan bunga mawar di lokasi rencana proyek revitalisasi drainase. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)