Ribath berjaga jaga menghadapi musuh di medan perang, juga menjaga sholat dan menghindari maksiat
InfoMalangRaya.com | DALAM Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim disebutkan bahwa suatu kali Abdullah bin Mubarak Rahimahullah pernah ditanya tentang ribath di jalan Allah, lalu beliau menjawab : “Jagalah dirimu utnuk senantiasa di atas kebenaran, hingga tegak di atas kebenaran, itulah seutama utama ribath! “
Ribath di Jalan Taat
Abdullah bin Mubarak Rahimahullah tidaklah bermaksud menganggap enteng ribath (berjaga jaga menghadapi musuh di medan perang). Kita tahu bahwa beliau bukan saja tokoh tabi’in yang dikenal dengan “Amiirul Mukminin fil hadits”, pimpinan orang-orang beriman dalam hal hadits.
Namun beliau juga seorang mujahid yang sering terjun di kancah fi sabiilillah, hingga jika di bulan dzulhijjah beliau tidak mendatangi baitullah untuk berhaji, berarti beliau sedang berada di medan ribath dan jihad. Meskipun di zaman beliau saat itu jihad menjadi fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain.
Beliau juga tidak bermaksud memalingkan manusia dari keutamaan ribath, akan tetapi beliau berbicara kepada umat di masa dan tempat yang damai, aman dari perang.
Beliau hanya khawatir, di saat orang-orang sedang berada dalam situasi aman, mereka akan berleha-leha, cenderung lengah dan terbuai oleh kenyamanan.
Maka beliau mengingatkan, bahwa ribath dengan pengertian siaga di jalan ketaatan senantiasa diharuskan; kapan, di mana dan dalam siatuasi apapun.
Agar umat tidak berada dalam kelemahan, malas untuk berjaga jaga, sehingga pada gilirannya mereka tidak akan mampu bertahan di jalan istiqamah yang penuh dengan tantangan di seluruh lininya.
Seperti hari ini, nas’alullahal ‘aafiyah, betapa umat menjadi lengah dan tidak peka akan ‘keganasan’ musuh yang telah merampas keyakinan umat hingga tak sedikit yang akhirnya sesat, bahkan sebagian lagi murtad.
Tidak pula siaga dan berjaga di medan dakwah, hingga musuh dengan leluasa menyerang dengan syubhat-syubhat yang menjauhkan umat dari kebenaran dan ketaatan, nyaris tanpa perlawanan yang signifikan.
Lemah juga kewaspadaan terhadap penderitaan umat, hingga celah itu dimanfaatkan oleh pihak luar yang merebut simpati kaum muslimin dengan iming-iming duniawi.
Sementara kita tetap santai, merasa tidak ada perang, dan tidak perlu ada yang berjaga maupun yang dijaga. Sehingga kemunduran umat dirasakan di hampir seluruh lini, karena absennya kaum muslimin di hamper sepanjang perbatasan antara yang haq dan yang bathil.
Bahkan, kalau kita mau bercermin, kaum muslimin lemah untuk menjaga dirinya sendiri agar pijakannya tetap kokoh berada di atas ketaatan.
Jika suatu waktu ketat penjagaannya, namun terlampau teledor di kesempatan yang lain.
Seperti pemandangan yang sekaan menjadi tradisi rutin, di masa hadirnya Ramadhan, tampak kegigihan dan antusias kaum muslimin dalam ketaatan, dan siaga dalam menjalankan rangkaian amal-amal keshalihan.
Akan tetapi, tak ada lagi gerakan siaga dengan berakhirnya Ramadhan. Nyaris semua tiarap, banyak yang terlelap dan hanya sedikit saja yang tetap melek terjaga.
Padahal, siaga dalam ketaatan dan amal shalih menjadi tuntutan setiap saat. Mereka siaga pada saat setan di belenggu, namun lengah pada saat setan terlepas dari belenggunya.
Padahal syariat telah membimbing cara agar tetap senantiasa siaga dalam taat. Disunnahkannya enam hari shaum di bulan syawal adalah di antara cara untuk terbiasa menjaga shaum.
Begitupun dengan shalat malam ,membaca al-Qur’an dan amal shalih yang lain tak hanya khusus dianjurkan di bulan Ramadhan.
Keutamaan Ribath
Hal yang menarik, ketika Nabi ﷺ menghasung kita untuk terus siaga untuk shalat dan menyebutnya sebagai ribath. Beliau ﷺ bersabda,
أَلَا أَدُلّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَع بِهِ الدَّرَجَات ؟ قَالُوا : بَلَى يَا رَسُول اللَّه قَالَ : إِسْبَاغ الْوُضُوء عَلَى الْمَكَارِه وَكَثْرَة الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِد وَانْتِظَار الصَّلَاة بَعْد الصَّلَاة فَذَلِكُمْ الرِّبَاط
“Maukah kutunjukkan kepadamu apa yang dapat menghapus dosa dan meningkatkan derajat?” Para sahabat menjawab, “Baik wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, memperbanyak langkah kaki ke masjid, menunggu shalat (berikutnya) sesudah menunaikan shalat. Itulah ribath.” (HR Muslim)
Dengan menggunakan kata ribath, beliau memberikan perumpamaan seseorang yang membiasakan diri dalam keadaan wudhu untuk bersiap shalat, melangkahkan kaki ke masjid dan memakmurkan seperti orang yang ribath yang memiliki pahala besar.
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan makna ribath dalah hadits tersebut, “asal makna ribath adalah al-habsu (menahan) atas sesuatu, seperti menahan dirinya untuk berada dalam ketaatan ini.”
Beliau juga mengatakan bahwa hadits ini mengandung pengertian tentang jenis ribath yang lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dikerjakan, sehingga berjaga-jaga untuk shalat merupakan satu jenis dari ribath.”
Beliau menukil pendapat tersebut dari al-Qadhi ’Iyadh. Penafsiran ini menguatkan apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Mubaarak rahimahullah, bahwa ribath tak hanya dibutuhkan di medan perang saja.
Sedangkan al-Mubaarakfuri dalam Tuhaftul Ahwadzi mengaitkan antara dua jenis ribath ini, “Pengertian asal dari ribath adalah ketika dua kubu saling berjaga di perbatasan yang diperkirakan dari arah situlah lawan akan menyerang maka membiasakan diri untuk bersuci dan yang semisalnya itu seperti (ribath dalam) jihad. Ada pula pendapat yang menjelaskan maknanya bahwa amal tersebut bisa menahan seseorang dari maksiat dan mencegahnya dari hal-hal yang haram, begitulah yang disebutkan dalam al-Majma’.”
Di sisi lain, hadits Ini menggambarkan keutamaan menjaga shalat, sekaligus keutamaan ribath yang dijadikan sebagai kemiripan yang dijadikan sebagai “iming-iming” pahala yang dijanjikan.
Karena memang ribath memiliki pahala yang besar, dan keutamaan seperti itu bias diraih di waktu aman.
Banyak fadhilah yang dikabarkan oleh Rasulullah ﷺ perihal keutamaan ribath. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ,
رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Ribath (bersiap siaga) satu hari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan apa saja yang ada di atasnya.” (HR Bukhari)
Lantas bagaimana denagn orang yang melakukan ribath berhari-hari dan bahkan berbulan-bulan?
Dakwah Media BCA – Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal InfoMalangRaya (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pahala orang yang ribath juga terus mengalir hingga hari Kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
“Ribath (berjaga-jaga di perbatasan) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya dan terbebas dari fitnah.” (HR Muslim)
Dan faedah yang sangat bermanfaat adalah, bahwa neraka pantang untuk menyentuh mata yang dipergunakan untuk ribath siaga di jalan Allah,
عَيْنانِ لا تَمَسُّهُما النارُ: عينٌ بكَتْ من خشْيةِ اللهِ، وعينٌ باتَتْ تَحرُس في سبيلِ اللهِ
“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
Jika demikian besar keutamaan ribath di fi sabiilillah, maka besar pula keutamaan amal yang disebutkan memiliki pahala ribath.
Meski secara maupun dalil, hanyaa ada dua jenis ribath yang disebutkan secara definitif; yakni ribath di medan perang fi sabiilillah dan ribath berjaga-jaga untuk shalat, namun hikmah maupun faedah yang terkandung dalam ribath berlaku pula dalam seluruh lini kebaikan, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di atas.
Ringkasnya, bahwa ribath itu ada dua macam; pertama, ribath (terikat) di front peperangan untuk membela dan atau menegakkan Islam. Kedua, ribath (terikat) secara ruhiyah yaitu memelihara diri jangan sampai terjatuh ke dalam larangan Allah.
Juga berkomitmen untuk mengerjakan amal-amal shalih dan membiasakannya terus menerus. Ribath ini wajib dikerjakan oleh seluruh Muslimin di segala waktu dan tempat.
Ribath jenis kedua tidak menggugurkan ribath yang pertama, bahkan umumnya orang-orang yang mampu melakukan ribath dengan jenis yang pertama telah melalui ujian dengan ribath yang kedua. Wallahu a’lam bishawab.*/ Abu Umar Abdillah, ar-Risalah