InfoMalangRaya – Perang Suksesi Jawa III merupakan salah satu babak kelam dalam sejarah tanah Jawa. Peristiwa yang kini diabadikan dalam ingatan sebagai salah satu konflik paling dahsyat yang pernah terjadi. Di tengah gemuruh senjata dan gelombang perang, terdapat kisah menarik yang menceritakan kebijaksanaan seorang pangeran yang tak hanya memimpin dengan gagah berani, tetapi juga membawa cahaya kebenaran agama.
Dalam peperangan yang membelenggu tanah Jawa, dua sosok mengemuka sebagai pahlawan dan rival: Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. Keduanya menjadi pusat dari perang sengit yang mengguncang Kerajaan Mataram Islam di Kartasura. Namun, di balik deru senjata dan gemuruh pertempuran, tersembunyi kisah menakjubkan seputar keberanian, kebijaksanaan, dan keislaman Pangeran Mangkubumi.Terlukislah sebuah gambaran gemilang akan sosok Pangeran Mangkubumi dalam berbagai catatan sejarah. Ia bukan sekadar seorang pemberontak, namun juga seorang bangsawan yang memegang teguh nilai sopan santun. Kelebihan-kelebihan lainnya pun melekat pada dirinya; dari keahlian dalam seni perang hingga keilmuan dalam sastra Jawa. Posturnya yang gagah serta tampan menjadi cerminan dari kekuatan dan keanggunan yang tak terbantahkan, menandingi bahkan mengalahkan keberanian para serdadu VOC. Dan di balik keberaniannya dalam pertempuran, terpancar pula keislaman yang taat. Kisah menakjubkan datang saat Mangkubumi dan pasukannya menangkap 40 serdadu Eropa dari VOC. Tindakan bijaksana pun terpilih, di mana ia tidak sekadar membalas dendam, tetapi mengajukan pertanyaan penting: apakah hati mereka siap menerima Islam? Dalam sorot mata yang tajam, Mangkubumi melihat lebih dari sekadar musuh. Ia melihat jiwa-jiwa yang butuh diredam dengan kasih dan petunjuk agama. Inilah momen ketika keberanian tidak hanya ditemukan dalam menembakkan senjata, tetapi juga dalam mengambil keputusan yang penuh makna dan kedamaian. Kegelapan malam menyelimuti medan perang, tapi bukan hanya bayangan kegelapan yang menghantui pikiran Pangeran Mangkubumi. Di hadapannya, 40 orang serdadu Eropa terus menerus menangis, memohon ampun atas nasib yang tak pasti. Dalam dilema yang mendalam, Mangkubumi menyadari bahwa keputusan harus segera diambil. Sayyid Ngabdurahman, dengan suara yang tenang namun penuh hikmat, menggambarkan jalan yang harus diambil. Islam mengajarkan untuk memberi kesempatan kepada yang salah untuk bertaubat, tapi juga menegaskan perlunya keadilan dalam menangani musuh perang. Kata demi kata, ia menguraikan hukum agama yang harus ditegakkan dalam situasi seperti ini. Mendengar nasihat bijak tersebut, Mangkubumi merenung sejenak. Dan akhirnya, dengan suara tegas dan hati yang berat, ia memutuskan langkah yang harus diambil. “Apakah 40 orang Eropa itu boleh dibunuh?” tanyanya kepada Sayyid Ngabdurahman, mencari kepastian dalam langkahnya. Dalam jawaban yang dipenuhi kebijaksanaan, Ngabdurahman menyetujui langkah tersebut, asalkan mereka tampak menangis. Dengan demikian, keputusan pun diambil dengan keadilan yang terjaga dan ketegasan yang dibutuhkan dalam medan perang yang penuh tekanan. Dalam keputusan yang penuh tekanan, Pangeran Mangkubumi mengambil langkah tegas. Dengan suara yang mantap, ia memerintahkan pasukannya untuk mengeksekusi para tawanan yang terus menangis. Meskipun langkah ini penuh dengan kesedihan, namun keadilan harus dijunjung tinggi di medan perang. Dari 40 orang serdadu Eropa yang ditawan, hanya tiga di antaranya yang mampu menyelamatkan diri dari hukuman eksekusi. Mereka, yang ternyata adalah pemain musik, termasuk seorang yang mahir memainkan seruling. Karena hati mereka dipenuhi dengan kegembiraan, Mangkubumi memberikan pengampunan dan menganggap mereka sebagai orang yang patut dihormati.
Baca Juga :
2.000 Karyawan The Body Shop Inggris Rentan Kena PHK, Bagaimana di Indonesia?
Dalam upaya untuk memulihkan kehidupan mereka yang baru, ketiga pemusik yang selamat itu diberikan pakaian dan diberi nama dalam bahasa Jawa. Nama Jawa mereka adalah Ongganaya, Onggaswara dan Onggaprayitna. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi saksi dari kebijaksanaan Pangeran Mangkubumi, tetapi juga bagian dari perubahan yang tengah terjadi di tanah Jawa. Perang Suksesi Jawa III, sebuah konflik berdarah yang melelahkan, akhirnya menemukan titik terang dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Namun, perjuangan tidak berakhir begitu saja. Pangeran Sambernyawa yang merasa dikhianati, melanjutkan perjuangan dengan keberaniannya sendiri, membawa konflik yang masih berkecamuk hingga selama 16 tahun berikutnya. Dalam cerita yang memilukan namun penuh inspirasi ini, Pangeran Mangkubumi tetap menjadi simbol keadilan dan keberanian, sementara tanah Jawa terus bergulat dengan pergolakan dan perubahan yang mengguncangnya. Setelah melalui perjuangan panjang dan pertumpahan darah, harapan akan perdamaian akhirnya menyapa tanah Jawa. Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi dengan semangat rekonsiliasi, Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Sambernyawa menandatangani Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Lokasi bersejarah di Desa Jemblung, Kabupaten Wonogiri menjadi saksi dari kesepakatan yang menandai akhir dari konflik yang mengguncang bumi Jawa. Perjanjian tersebut menjadi tonggak sejarah yang mengukuhkan perdamaian yang begitu dinanti-nantikan. Namun, perjanjian ini tidak melibatkan semua pihak yang terlibat dalam konflik. Hanya Sunan Pakubuwono III, Pangeran Sambernyawa, serta saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC yang hadir dalam penandatanganan tersebut. Hasil dari Perjanjian Salatiga adalah pengakuan terhadap Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said sebagai Adipati Miji dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaannya yang meliputi sejumlah daerah, meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I ini kemudian dikenal dengan nama Kadipaten Mangkunegaran. Dengan demikian, Perjanjian Salatiga bukan hanya mengakhiri sebuah babak kelam dalam sejarah Jawa, tetapi juga menandai awal dari periode perdamaian dan rekonstruksi yang mengubah wajah tanah ini.