InfoMalangRaya.com—Menjadi tawanan perang tentu akan memberikan mimpi buruk bagi siapa pun. Hal itulah yang dialami seorang nenek berusia 85 tahun ketika ditangkap dan disandera pejuang Hamas pasca serangan 7 Oktober lalu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal InfoMalangRaya (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Berbagi pengalamannya diungkapkan bekas sandera ‘Israel’ bernama Yocheved Lifshitz, yang diculik orang-orang bersenjata, yang merupakan pejuang kemerdekaan Palestina dan dibawa ke sebuah terowongan di Jalur Gaza yang jaraknya berkilo-kilo meter.
“Kami berjalan beberapa kilometer di bawah tanah melalui parit basah,” katanya dalam wawancara pertamanya yang diterbitkan dalam bahasa Ibrani.
⚡️kan channel:Yocheved Lifshitz, tawanan yg dibebaskan #Qassam: “Kami berjalan berkilo-kilo di terowongan bawah tanah. Masing2 kami memiliki seseorang utk menjaganya. Kami makan apa yg juga mereka makan – keju putih, dan mentimun. Ini makanan kami tiap hari.” @ME_Observer_ pic.twitter.com/4sFHc98mYh— InfoMalangRaya.com (@hidcom) October 24, 2023
Lifshitz adalah salah satu dari dua sandera – satunya wanita lanjut usia bernama Nurit Cooper, 79— yang dibebaskan Hamas pada Senin (22/10/2023), menceritakan momen dirinya ditarik keluar dari rumahnya di Kibbutz Nir Oz, di wilayah Palestina yang kini dicaplok ‘Israel’, lalu dibawa pergi dengan sebuah sepeda motor menuju Gaza.
Mereka bergerak melalui ladang yang dibajak. Para pejuang bahkan dengan mudah meledakkan pagar elektronik yang dibangun ‘Israel’ dengan menelan biaya 2,5 miliar dolar.
Lifshitz mengatakan pihak militer ‘Israel’ tampak tidak menanggapi ancaman Hamas dengan cukup serius. Dia juga mengatakan bahwa pagar keamanan yang dibangun dengan biaya mahal untuk mencegah masuknya kelompok pejuang rupanya tidak berarti sama sekali.
Lifshitz mengatakan dia harus berjalan di tanah basah dan turun ke sistem terowongan bawah tanah yang dia ibaratkan mirip jaring laba-laba. Meski begitu, ia mengaku disambut para pejuang Brigade Izzuddin Al-Qassa, yang menyatakan dirinya beriman kepada Al-Quran dan memenuhi wasiat Nabi nya (Muhammad ﷺ) dan berjanji tidak akan menyakiti para sandera.
“Mereka mengatakan sebagai Muslim yang percaya pada Al-Quran dan berjanji tidak akan menyakiti para sandera,” katanya.
Lifshitz mengatakan dia awalnya rombongan dikelompokkan dengan 25 orang lainnya, sebelum mereka dipisahkan menjadi kelompok yang lebih kecil dengan empat orang lainnya dari Kibbutz.
Di terowongan dirinya dan para sander tidur di kasur di lantai terowongan. Mereka juga makan makanan yang sama seperti pejuang Hamas, termasuk menerima perawatan rutin dari seorang dokter dan para medis.
“Dokter di sana membawakan kami obat-obatan yang setara dengan yang kami gunakan di ‘Israel’,” ujar dia.
Setiap orang memiliki penjaga yang mengawasinya. Mereka mengurus semua kebutuhan. Mereka berbicara tentang segala hal.
“Mereka sangat menjaga aspek kebersihan agar kami tidak sakit,” tambah Lifshitz yang diterjemahkan putri Lifshitz, Sharone kepada para wartawan di luar rumah sakit di Tel Aviv pada hari Selasa (24/10/2023).
“Pejuang Al-Qassam memperlakukan kami secara manusiawi dan tidak membunuh satu pun warga sipil, namun tentara pendudukan ‘Israel’-lah yang membunuh warga sipil ‘Israel’ dalam bentrokan dengan pejuang dari Gaza,” kata dia.
Wanita lanjut usia ini membalik semua tuduhan yang dibangun Zionis dan sekutunya berpuluh-puluh tahun untuk mencemari nama baik pejuang kemerdekaan Palestina. “Mereka memperlakukan kami dengan hormat, Mereka sangat ramah,” katanya dalam konferensi pers.
“Mereka memberi kami roti pita, keju, krim keju rendah lemak, dan mentimun dan itu adalah makanan kami sepanjang hari,” katanya.
Kurangnya kompetensi tentara ‘Israel’ dan badan intelijen Shin Bet sangat menyakiti perasaanya. “Kami dijadikan kambing hitam bagi pemerintah ‘Israel’,” kata dia.
Ketika ditanya wartawan; “Mengapa Anda berjabat tangan dengan pejuang Hamas ketika mereka membebaskan Anda?”
Yocheved Livschitz mengatakan, “Karena mereka memperlakukan kami dengan sangat baik.”*