InfoMalangRaya.com– Inflasi yang menggila dan ketidakpastian ekonomi di dalam negeri mendorong banyak perusahaan Turki memilih hijrah ke Mesir, yang menawarkan biaya tenaga kerja jauh lebih rendah, pengurusan visa yang sederhana dan akses yang lebih baik terhadap pasar internasional.
Perusahaan-perusahaan Turki sejak lama tidak puas dengan kondisi perekonomian negara itu selama bertahun-tahun, sebab kebijakan tingkat bunga rendah Presiden Recep Tayyip Erdogan ikut andil mendongkrak inflasi, yang saat ini menurut perhitungan resmi mencapai 61,5%. Harga bahan bakar minyak yang tinggi dan ketidakpastian dalam kebijakan suku bunga bank sentral menambah parah masalah. Kebijakan ekonomi tidak konvensional Erdogan memaksakan suku bunga sangat rendah, dengan alasan riba haram dilarang oleh Islam.
Namun, setelah tampak jelas ketidakpuasan di mana-mana di seluruh penjuru Turki, sepertinya Erdogan akhirnya menyerah dengan urusan bunga bank. Pada bulan Juni 2023 dia menunjuk Mehmet Simsek, yang dikenal menyakini kebijakan ekonomi orthodoks (pemikiran perbankan konvensional, tidak anti riba dan bunga tinggi), sebagai menteri keuangan, dan Hafize Gaye Erkan – wanita berpendidikan Harvard dan Stanford dan mengukir karir cemerlang di sektor perbankan dan perusahaan finansial papan atas di Amerika Serikat – sebagai kepala Bank Sentral Turki.
Simsek dan Erkan mengatakan perekonomian Turki akan stabil dan kembali ke inflasi satu digit pada 2025 atau 2026. Akan tetapi, banyak perusahaan tidak bersedia bertaruh dengan ketidakpastian seperti itu.
Selama bertahun-tahun kalangan bisnis di Turki– besar maupun kecil – dihadapkan dengan biaya produksi tinggi, harga bahan bakar selangit, ketidakpastian nilai tukar mata uang dan suku bunga bank. Oleh karena itu, tidak sedikit yang berpikir untuk pindah ke luar negeri.
Mesir merupakan salah satu negara incaran pengusaha Turki.
Sejauh ini, investasi Turki di Mesir pada tahun ini saja mencapai $2,5 miliar (€2,2 miliar). Diperkirakan jumlahnya dapat tumbuh menjadi $3 miliar (€2,7 miliar) pada akhir tahun 2023.
Di negeri piramida itu biaya tenaga kerja dan produksi jauh lebih rendah. Terlebih, sejak April Mesir tidak mengharuskan warga Turki untuk memiliki visa sebelum memasuki wilayahnya.
Perusahaan Turki yang beroperasi di Mesir juga mempunyai peluang untuk terlibat dalam perdagangan bebas tarif dengan negara-negara pihak ketiga, sehingga memungkinkan mereka memasuki pasar baru.
“Mesir sudah menjadi negara yang menarik untuk melakukan bisnis, tetapi pencabutan persyaratan visa bagi warga negara Turki menandai titik balik yang nyata,” kata ketua Turkish-Egyptian Business Council, Mustafa Denizer, kepada DW (1/12/2023).
Perusahaan-perusahaan Turki berusaha untuk pindah ke negara-negara lain selama bertahun-tahun dalam upaya untuk tetap kompetitif, kata Denizer, seraya menambahkan, “Dengan diberlakukannya kebijakan bebas visa, sekarang ada banyak peluang besar untuk pindah ke sana [Mesir].”
Saat ini 35 perusahaan industri Turki beroperasi di Mesir dan mendulang pendapatan tahunan lebih dari $1,5 miliar (€1,3 miliar), kata Denizer.
Perusahaan-perusahaan Turki yang berbasis di Mesir dapat memasuki berbagai pasar yang berbeda, disebabkan adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, Amerika Selatan dan beberapa negara Afrika, imbuhnya.
Biaya tenaga kerja di Mesir sepertiga dari biaya tenaga kerja di Turki. Rata-rata biaya tenaga kerja bulanan di Turki adalah sekitar $500 (€459) per pekerja — di Mesir, biaya tenaga kerja sangat kecil, yaitu hanya $150 (€137). Biaya bahan bakar juga jauh lebih rendah di Mesir. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar Turki seperti Arcelik, Sisecam, Temsa dan Yildiz Holding sudah memindahkan produksinya ke sana.
Perusahaan asal Turki, Temsa, yang membuat kendaraan jenis bus dan van di Mesir, sudah melakukan ekspor ke berbagai belahan dunia.
Yildiz Holding, pabrikan camilan manis bermerek Pladis, menikmati kesuksesan besar di pasar Mesir, pasar terbesar kedua di kawasan Timur Tengah/Afrika Utara (MENA).
Yesim Textil, memiliki pabrik pakaian tidak hanya di Kairo, tetapi juga di Alexandria dan Ismailia. Mereka memproduksi pakain untuk berbagai merek ternama dunia.
Raksasa elektronik Arcelik, yang di Eropa produknya terkenal dengan merek Beko, baru-baru ini menginvestasikan $100 juta (€91 juta) untuk pabrik baru di Mesir yang dijadwalkan mulai beroperasi pada akhir tahun ini.
Iskefe Holding, LC Waikiki, Eroglu Group dan banyak lainnya juga telah mengumumkan investasi tambahan di Mesir.
Sekitar 70.000 orang di Mesir sudah menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan Turki itu, belum lagi mereka yang bekerja untuk perusahaan pemasoknya.
Sepertiga dari seluruh tekstil dan pakaian di Mesir kini diproduksi di pabrik-pabrik perusahaan Turki.
Denizer, yang bergerak di sektor industri tekstil, mengatakan perusahaan-perusahaan asal Turki mendapatkan sambutan hangat di Mesir.
Meskipun demikian, bukan berarti bisnis selalunya berjalan mulus. Disebabkan keterbatasan mata uang asing, dalam hal ini dolar, perusahaan Turki yang memproduksi barang untuk pasar lokal Mesir tidak jarang menerima pembayaran telat. Bank sentral Turki dan Mesir saat ini sedang merundingkan penyelesaian masalah ini, kata Denizer kepada DW.
Pada bulan Oktober, Menteri Perdagangan Ömer Polat dan delegasi bisnis Turki melakukan perjalanan ke Mesir. Ibrahim Burkay, ketua Kamar Dagang dan Industri di Bursa – kota di Turki yang kaya secara ekonomi cukup makmur, mendampingi Polat.
“Tujuan kami adalah meningkatkan volume perdagangan Mesir-Turki menjadi $15 miliar (€13,7 miliar) dalam lima tahun ke depan,” kata Burkay. Tahun lalu, total perdagangan kedua negara mencapai $7 miliar (€6,4 miliar).
Menurut Burkay, perusahaan-perusahaan di Bursa fokus menggarap dua sektor utama, yaitu otomotif dan tekstil.
“Kami dapat memperoleh manfaat dari pengalaman bertahun-tahun di bidang ini,” kata Burkay, seraya menambahkan bahwa rencana untuk mengadakan pameran besar perdagangan tekstil dan kain di Mesir telah direncanakan.
“Kami juga mempunyai peluang untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Mesir yang beroperasi di negara lain,” tambahnya.
Pengusaha Turki sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan urusan politik, mereka bisa berbisnis dengan siapa saja dan di mana saja asalkan lancar. Hubungan bisnis pengusaha Turki dan Israel contohnya, tidak pernah putus sama sekali meskipun hubungan diplomatik keduanya tegang dan bahkan putus selama bertahun-tahun disebabkan masalah politik terkait isu-isu Palestina. Sampai sekarang Turki masih menjadi jalur pengiriman penting minyak Israel yang dibelinya dari negara-negara asing. Dengan Mesir, tampak jelas pengusaha Turki tidak peduli dengan hubungan dingin Presiden Abdul Fattah Al-Sisi dan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang kurang mesra disebabkan perbedaan sikap dan pandangan tentang kelompok Ikhwanul Muslimin.*