IMR – Petani dari Empat Kecamatan, Tuntut Hak Milik atas Lahan Kalibakar

MALANG RAYA40 Dilihat

IMR – Sejumlah petani Kalibakar, yang berasal dari empat kecamatan di wilayah Malang Selatan, meminta agar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Keuangan, untuk melepaskan Hak Guna Usaha (HGU) oleh PTPN XII sejak tahun 2013. Karena HGU tidak dapat diperpanjang.

Permintaan para petani yang selama ini mengerjakan lahan milik Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XII tersebut, disampaikan kepada DPRD Kabupaten Malang, agar diteruskan kepada pihak-pihak terkait.  

Mereka yang datang ke Kantor DPRD Kabupaten Malang, untuk melakukan dengar pendapat adalah petani perwakilan dari Kecamatan Ampelgading, Tirtoyodo, Dampit dan Sumbermajin Wetan.

Dihadapan anggota DPRD Kabupaten Malang, mereka berharap aspirasi dari petani, bisa diperjuangan agar hak atas tanah mereka, mendapatkan kepastian hukum.

Para petani Kalibakar, juga menolak diberlakukannya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas tanah yang mereka garap. Mereka meminta agar tanah tersebut dijadikan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Pembina Petani Kalibakar, yang juga Direktur Lembaga Analisis Politik dan Otomi Daerah Malang, George da Silva, menyebutkan, Hak Guna Usaha (HGU) tidak bisa diperpanjang, yang kini digarap oleh masyarakat tersebut, totalnya mencapai 23 hektare.

Karena itu, kata George, Badan Pertanahan Nasional (BPN) secara secara de jure dan de facto, serta PTPN XII. Lantaran asetnya masih menjadi milik Kementerian BUMN. “PTPN XII pada tahun 2013 mengajukan hak pengelolaan lahan tersebut. Pada bulan Maret 2024, PTPN XII dan salah satu Kepala Desa (Kades) bersama Kejaksaan Negeri (Kejari) Malang, mencetuskan ide perdamaian antara petani Kalibakar,” kata George da Silva.

Setelah itu, lanjutnya, PTPN XII mengajak petani untuk menerima program HPL, yang  ditandatangani dan disaksikan oleh Bupati Malang serta Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopinda) Kabupaten maupun kecamatan.

Sebenarnya, kata George, PTPN XII sudah tidak lagi  berwenang dalam mengelola lahan Kalibakar, yang berada di wilayah empat kecamatan. Yakni Ampelgading, Tirtoyodo, Dampit, dan Sumbermajing Wetan. Karena hampir 27 tahun petani mengelola lahan tersebut, menghendaki hak milik atas tanah itu.

“Kami sudah bertemu dengan Bupati Malang bersama stafnya dan Kepala Kantor BPN Kabupaten Malang dan mendorong untuk mengeluarkan sertifikat hak milik,” terangnya.

Tidak itu saja, pihaknya meminta kepada Bupati Malang dan BPN, untuk mengiventarisasi kepemilikan lahan atas by name dan by adress. Agar tidak keliru dengan lokasi di lapangan.

Apalagi sejak tahun ini, pihaknya sudah melakukan pengukuran tanah. Masih ada satu desa yang belum selesai, mungkin dalam bulan ini selesai.

Sebelumnya, petani Kalibakar melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Kejari Kepanjen dan di Kantor DPRD Kabupaten Malang.

Tetapi ternyata, menurut pengakuan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kepanjen saat itu, penandatanganan di berita acaranya, Kades mencantumkan nama-nama fiktif petani Kalibakar dan membohongi atas persetujuan petani Kalibakar.

“Dengan adanya nama-nama fiktif petani Kalibakar, maka Kajari menyanggupi dalam waktu dekat segera membatalkan surat perjanjian. Karena Kajari saat itu dibohongi Kades. Sehingga pihak Kajari tidak melakukan penyelidikan terlebih dahulu atas informasi tersebut,” sebut mantan anggota Bawaslu Kabupaten Malang itu.

Bahkan, kata George, dirinya saat itu juga sudah bersurat ke Moeldoko, sebagai Kepala Reformasi Agrarian, yang juga menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan di Kabinet Presiden Joko Widodo.

Dirinya bersama Anggota DPRD Kabupaten Malang dan perwakilan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) ke Jakarta, untuk bertemu Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Kehutanan dan Menteri terkait lainnya untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Kami sebagai pembina petani Kalibakar, sudah tiga tahun membentuk akta notaris dan sudah terdaftar di Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham),” tandas George da Silva. (*/Ra Indrata)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *